Tak ada jalan lain, akhirnya pedagang daging sapi pun mulai
mogok jualan. Lonjakan harga daging sapi hingga 140 ribu rupiah/ kg, membuat
konsumen lebih memilih mengganti protein keluarganya dengan ayam, telur,tempe
dll. Bukan hanya pedagang daging yang dirugikan dengan tingginya daging sapi. Begitupun
penjual baso, rumah makan padang dan pedagang-pedagang kecil lainnya yang
berbahan dasar daging sapi, mereka berebut daging sapi yang langka dan mahal. Semakin
mereka mendapatkan keuntungan yang minim, semakin terancamlah perekonomian
mereka.
Kenaikan harga daging sapi menjelang romadon dan idul fitri
adalah hal yang wajar, karena secara fakta demand
(permintaan) akan pangan tersebut naik drastis. Namun menjadi tidak wajar
ketika pasca lebaran harga semkain naik. Padahal permintaan akan daging sapi sudah
turun. Artinya disini, permasalahannya terletak pada supply (penawaran) nya bukan demandnya.
Pemerintah dengan program swasembada pangannya, berusaha
agar kran impor sedikit demi sedikit diturunkan. Untuk kasus daging sapi,
pemerintah memangkas kuota impor daging sapi sampai 50 ribu ton dari 270 ribu
ton pada periode sekarang. Wal hasil, lonjakan harga pun terjadi. Dr. Hendri
Saparini, direktur executive core
Indonesia dalam program perspektif ekonomi menilai bahwa lonjakan ini terjadi akibat
pemerintah menurunkan kuota impor, sehingga muncul ekspektasi akan ada
pengurangan stock daging sapi, inilah
yang menyebabkan spontan harga di pasar naik.
Walaupun pemerintah sudah mengatakan bahwa pasokan daging
sapi dalam negeri sudah mencukupi dari peternak lokal, namun pedagang
bersikeras menganggap pemeritah berbohong, karena faktanya dijakarta pasokan
daging 99% dari impor, sisanya 1 % dari bali. Sehingga jika impor tidak ada,
daging sapi pun tidak ada (Jitunes.com). Menurut Hendri perbedaan data inilah
yang menyebabkan para spekulan memainkan harga. Maka dari itu pemerintah harus
lebih serius mendata apakah benar pasokan daging dalam negeri mencukupi
kebutuhan?
Penyebab Lonjakan
Harga Daging Sapi
Setidaknya ada dua penyebab utama kelangkaan pasokan daging
sapi, yang menyebabkan naiknya harga daging sapi saat ini. Pertama, dugaan
adanya permainan harga yang dilakukan para importir dan eksportir daging sapi.
Pasalnya merekalah pihak yang paling dirugikan, dengan adanya penurunan kuota
impor, mereka kehilangan omset triliunan rupiah.
Hitungan sederhananya : Jika harga 1 ekor sapi Australia +
pengapalan, dll = Rp 10 juta, maka eksportir itu kehilangan potensi omset
sebesar (270 ribu - 50 ribu) x Rp 10 juta = Rp 2,2 triliun setiap kuartal.
Berarti total hilangnya omset dalam 1 tahun = Rp 2,2 triliun x 4 = Rp 8,8
triliun. Angka yang fantastis!
Adapun cara importir mempermainkan harga yaitu dengan
menahan sapi siap potong. Terbukti beberapa feedloter
setelah digerebek Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus
(Dittipideksus) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri , menimbun
ratusan sapi siap potong. Ditemukan 4 ribu ekor sapi siap potong, namun oleh
pemiliknya dibiarkan (Gresnes.com). Padahal secara economis ketika sapi telah
siap potong diperlama umurnya, akan menyusut bobotnya, itu artinya mereka akan
mendapat kerugian.
Penyebab kedua atas kelangkaan pasokan daging sapi ini adalah
kelalaian pemerintah yang tidak mampu melayani masyarakat dengan menyediakan
kebutuhan daging sapi yang cukup dan terjangkau. Sampai saat ini tekhnologi
peternakan sapi di Indonesia masih kalah jauh dibandingkan negara-negara
produsen sapi dunia.
Begitupun distribusi yang buruk, dapat menghambat sampainya
sapi dari sentra produksi menuju sentra konsumsi. Buruknya infrastruktur dan
juga pungli yang membuat harga sapi lokal lebih mahal dari pada sapi impor, hal
demikian membuat peternak sapi kurang ‘bergairah’ dalam beternak sapi. Sebagai
contoh pengangkutan sapi dari pulau bali dan Lombok lewat darat, akan menemui
paling sedikit 20 titik pungutan baik legal ataupun tidak. Padahal jika
pemerintah serius mengurus distribusinya, rantai yang panjang ini akan dengan
mudah dipangkas, dengan pembelian kapal pengangkut misalnya.
Sebenarnya, poin pertama yaitu adanya permainan harga dari
importir dan eksportir adalah juga bentuk lalainya pemerintah. Seharusnya
pemerintah mampu mengantisipasi perbuatan curang para importir yang menyebabkan
kelangkaan pasokan daging sapi. Begitupun terkait eksportir sapi, seharusnya
pemerintah mempunyai kedaulatan atas ketersediaan daging sapi sehingga tidak
mudah disetir negara lain.
Tanggung Jawab
Pemerintah
Memang akhirnya, penguasalah yang paling bertanggung jawab
akan tersedianya pangan bagi warganya. Dalam perspektif Islam, tugas penguasa
adalah mengurusi urusan umat. Penguasa harus menjamin ketersediaan dan
keterjangkauan kebutuhan pangan tiap individu, karena pangan adalah salah satu
kebutuhan pokok yang harus dijamin negara.
Ketersediaan pangan adalah tersedianya stok pangan yang
memadai untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Dengan kata lain,
kemandirian produksi harus tercipta. Ketergantungan kebutuhan pokok pada negara
lain harus diputus. Walaupun impor diperbolehkan, namun jangan sampai
ketersediaan pangan bergantung pada impor. Karena hal ini yang akan mengakibatkan
kedaulatan pangan dalam negeri terancam.
Oleh karena itu, sebenarnya kebijakan pembatasan kuota impor
oleh pemerintah saat ini, guna memenuhi target swasembada pangan sudah tepat. Namun
tentunya harus diimbangi dengan kebijakan lainnya seperti pembinaan terhadap
peternak lokal baik dari sisi pemodalan ataupun
intensifikasi produksi. Bukan mengundang investor asing untuk
berinvestasi ternak sapi di Indonesia, seperti yang dilakukan mentri
perdagangan dulu.
Adapun keterjangkauan pangan adalah distribusi pangan yang
harus serius dikelola oleh pemerintah. Pemerintah harus benar-benar memastikan
setiap individu yang menjadi warga negaranya, tercukupi kebutuhan pangannya,
termasuk daging sapi. Sayangnya, dalam sistem ekonomi kapitalis, distribusi diserahkan
pada harga semata. Padahal tidak semua pihak bisa dan mampu mendapatkan hak nya
jika hanya harga yang menjadi distribusinya.
Tanggung jawab pemerintah bukan hanya menyediakan pasokan
saja, lebih dari itu pemerintah harus benar-benar memastikan kebutuhan pangan
sampai di tiap individu yang membutuhkan.
Namun sejatinya akan sulit menemukan penguasa yang
benar-benar memperhatikan rakyatnya dalam sistem demokrasi. Jikapun ada, mereka
akan tersandung dengan aturan-aturan yang melindungi sistem ini. Akhirnya wajar
jika pemerintahan dalam sistem demokrasi akan menelantarkan umat. Hanya sistem
Islam lah yang mampu melahirkan penguasa yang benar-benaar mengurusi umatnya.
sistem ini terbukti kuat dan mampu mensejahterakan warganya. Daulah Khilafah
Islamiyah. wallahualam
Kanti Rahmillah, S.T.P, M.Si
www.detikislam.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar