Selasa, 09 Januari 2018

Kapitalisme Membidani Lahirnya “Ayah Ibu Kriminal”

Ibarat “ Baiti Jannati” , keluarga adalah tempat dimana rasa bahagia terkumpul dan tercipta suasana yang harmonis. Lahir didalamnya, individu-indivdu penyayang yang terdidik dalam menjalani kehidupan. Aqidah yang tertanam dalam anggota keluarganya, menjadi pondasi ketakwaan mereka. Syariat sebagai konsekuensi keimannanya, menjadi perisai dalam mengarungi kehidupan. Ayah menjadi tempat sandaran untuk rasa aman, Ibu menjadi pendidik utama dan pertama untuk anak-anaknya. Namun kapitalisme merenggut semuanya. Kemiskinan yang mencekik, keimanan yang dangkal, menyebabkan suami istri tak berfungsi sebagaimana fitrahnya.
Sebut saja, kasus  Atty-Itoc yang menambah deretan list pasutri yang melakukan korupsi. Wali Kota Cimahi nonaktif ini, bersama suaminya M Itoc ditangkap KPK saat menerima transferan uang sebesar 500juta. Tentu bukan hanya mereka, masih banyak deretan pasutri yang terseret kasus korupsi, seperti M Nazarudin dan Neneng yang hingga kini masih mendekam dijeruji, karena kasus suap di Kemenpora dan Wisma Atlit.
Mereka adalah pejabat negara, yang seharusnya mampu menjadi “orang tua” masyarakat, yang mengayomi dan melayani umat, hingga terangkat martabatnya. Namun pendidikan sekuler membuat mereka menjadi pintar tanpa takwa. Suami istri bahu membahu menciptakan kebahagiaan sendiri, menari diatas penderitaan rakyatnya.
Bukan hanya korupsi. Kasus vaksin palsu yang baru-baru ini meresahkan masyarakat, ternyata dilakukan  oleh pasutri hidayat dan rita. Mereka memproduksi vaksin palsu dirumahnya sendiri. Padahal suami istri seharusnya bekerjasama dalam kebaikan, bukan kemudorotan. Menjadikan rumah sebagai tempat ibadah yang kondusif, bukan malah menjadikan rumah sebagai tempat maksiat.
Yang lebih miris, kasus pasutri yang menjadi mucikari online. Disebutkan oleh tribunnews.com, alasan pasangan ini menjadi geremo sekalius merangkap PSK, lantaran mereka tidak sanggup membiayai kedua anaknya. Belum lagi kasus yang dilaporkan pada KPAI, seorang Ibu di Samarinda yang tega menjual keperawanan anaknya, padagal  baru 11 tahun, hanya karena terlilit hutang.
Siapa yang tidak sedih mendengar kasus diatas. Seharusnya ayah dan ibu menjadi teladan utama bagi anak-anaknya, menjadi pelindung di garda terdepan bagi buah hatinya. Sungguh memprihatinkan jika mereka menjadi korban pertama kedua orangtuanya.  Mana mungkin akan terlahir anak-anak yang solih dan cemerlang, apalagi berkarya untuk umat, jika orang tuanya adalah pelaku kriminal. Anak-anak yang merupakan generasi penerus bangsa, kini harus siap menjadi sampah bangsa.
Dengan demikian, wajar jika remaja hari ini, banyak yang kehilangan identitasnya, lantaran kerja “kotor” orang tuanya. Mereka makan dari hasil uang haram, maka jangan disalahkan jika mereka menjadi bebal, keimanan seolah tak sudi menempel dalam darah daging mereka. 
Kasus kasus diatas menggambarkan pada kita, bahwa Indonesia berada dalam darurat ketahanan keluarga. Delapan fungsi keluarga (reproduksi, ekonomi, sosial, protektif, rekreatif, afektif, eduktif, relijius) yang menjadi ciri keluarga ideal, menjadi hal yang langka. Mengapa begitu mudahnya suami istri melakukan kriminalitas? hanya demi mendapatkan kecukupan ekonomi dan kebahagiaan dunia?
Sistem ekonomi liberal, sistem yang membebaskan bagaimana cara memperoleh harta. Sistem yang membolehkan seseorang untuk mendzolimi orang lain, hanya demi pemenuhan kebutuhan hidupnya. Begitu pun mandulnya sistem hukum dalam mewujudkan fungsi sanksi yang menjerakan, dan mencegah pihak lain mengulang kriminalitas, menjadi bagian penting dalam menciptakan tingkah laku pasutri yang abnormal.
Negara Soko Guru Ketahanan Keluarga
Keluarga adalah institusi terkecil dalam sebuah masyarakat. Jika institusi kecil ini hancur, maka sangat mudah bagi sebuah peradaban manusia, menjadi liar tak terarah.  Oleh karena itu, ketahanan keluarga menjadi bagian penting dalam menopang ketahanan negara. Begitupun negara menjadi soko guru terciptanya ketahanan keluarga.
Delapan fungsi keluarga, tidak akan mungkin bisa dilaksanakan secara sempurna jika negara tidak mendukungnya. Misalnya saja fungsi ekonomi sebuah keluarga. Akan sulit terwujud tanpa bantuan negara.  Ketika masyarakat dibiarkan begitu saja dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, negara angkat tangan dalam menyelesaikannya, maka bukan hanya kriminalitas yang menjadi ekses negative akibat sulitnya ekonomi, akan keluar berbagai macam problema yang menghantam ketahanan keluarga. kasus perceraian misalnya.
Data hinga oktober tahun 2016, ada 212ribu Janda baru di Indonesia. Tercatat 315 ribu permohonan cerai diterima dipengadilan agama seluruh Indonesia.  Dari 315 ribu permohonan cerai, sebanyak 224ribu permohonan gugat cerai oleh istri. Itu artinya hampir 80% gugat cerai dari pihak istri.
Meningkatnya angka perceraian 5 tahun terakhir ini (2010-2015) sebesar 59-80 persen (Kementrian agama). Menurut Muharam Marzuki, Kepala Puslitbang, dari 2 juta pasangan yang menikah, sebanyak 15-20 persen bercerai. Adapun alasan tertinggi perceraian adalah masalah ekonomi, apakah itu suami kurang menafkahi atau income istri lebih tinggi daripada suami.
Tentu peran negara sangatlah besar terrhadap ekonomi keluarga. Negara seharusnya memberikan pemahaman bahwa yang berkewajiban mencari nafkah adalah ayah. Ketika ibu turut andil dalam membantu perekonomian keluarga dan mengabaikan kewajiban utamanya, mendidik anak. Hal itu bertentangan dengan fungsi keluarga dan akan menimbulkan permasalahan baru, yaitu anak terabaikan. Namun yang terjadi saat ini, justru negara mendorong para ibu untuk membantu perekonomian keluarga, sebagai contoh program PEP (Pemberdayaan  Ekonomi Perempuan) .
Bukan hanya memberikan pemahaman, negara juga wajib menyediakan program dan sarana pelatihan agar individu-individu yang wajib mencari nafkah, menjadi  terampil. Negara membuka lapangan pekerjaan seluas - luasnya untuk para ayah, bukan untuk para ibu. Permodalan dan pengembangan akses usaha yang mudah, termasuk negara harus mengawasi praktek curang dalam dunia usaha.
Ketika negara sudah memfasilitasi dan mendukung tercapainya fungsi ekonomi keluarga dan ketujuh fungsi lainnya, niscaya tidak akan merebak kasus pasutri yang melakukan kriminal seperti saat ini. Sistem negara yang kuat adalah negara yang mampu menyelesaikan permaslahan tanpa menimbulkan masalah yang baru disisi lain.
Sistem demokrasi yang berasakan sekuler, mencari solusi dalam setiap permasalahnnya hanya dengan akal manusia yang terbatas, ditambah sudut pandang  yang pragmatis menyebabkan ketahanan negara dalam sistem ini rapuh bak sayap kupu-kupu. Hanya syariat Islam dalam bingkai Daulah Khilafah yang mampu menjadikan negara soko guru dalam merealisasikan delapan fungsi keluarga. Hingga tercipta ketahanan keluarga.

Kanti Rahmillah , S.T.P, M.Si

2016


Tidak ada komentar:

Posting Komentar