Ibarat “ Baiti Jannati” , keluarga adalah tempat dimana rasa
bahagia terkumpul dan tercipta suasana yang harmonis. Lahir didalamnya,
individu-indivdu penyayang yang terdidik dalam menjalani kehidupan. Aqidah yang
tertanam dalam anggota keluarganya, menjadi pondasi ketakwaan mereka. Syariat
sebagai konsekuensi keimannanya, menjadi perisai dalam mengarungi kehidupan. Ayah
menjadi tempat sandaran untuk rasa aman, Ibu menjadi pendidik utama dan pertama
untuk anak-anaknya. Namun kapitalisme merenggut semuanya. Kemiskinan yang
mencekik, keimanan yang dangkal, menyebabkan suami istri tak berfungsi sebagaimana
fitrahnya.
Sebut saja, kasus
Atty-Itoc yang menambah deretan list pasutri yang melakukan korupsi. Wali
Kota Cimahi nonaktif ini, bersama suaminya M Itoc ditangkap KPK saat menerima
transferan uang sebesar 500juta. Tentu bukan hanya mereka, masih banyak deretan
pasutri yang terseret kasus korupsi, seperti M Nazarudin dan Neneng yang hingga
kini masih mendekam dijeruji, karena kasus suap di Kemenpora dan Wisma Atlit.
Mereka adalah pejabat negara, yang seharusnya mampu menjadi
“orang tua” masyarakat, yang mengayomi dan melayani umat, hingga terangkat
martabatnya. Namun pendidikan sekuler membuat mereka menjadi pintar tanpa
takwa. Suami istri bahu membahu menciptakan kebahagiaan sendiri, menari diatas
penderitaan rakyatnya.
Bukan hanya korupsi. Kasus vaksin palsu yang baru-baru ini
meresahkan masyarakat, ternyata dilakukan oleh pasutri hidayat dan rita. Mereka
memproduksi vaksin palsu dirumahnya sendiri. Padahal suami istri seharusnya
bekerjasama dalam kebaikan, bukan kemudorotan. Menjadikan rumah sebagai tempat
ibadah yang kondusif, bukan malah menjadikan rumah sebagai tempat maksiat.
Yang lebih miris, kasus pasutri yang menjadi mucikari
online. Disebutkan oleh tribunnews.com, alasan pasangan ini menjadi geremo
sekalius merangkap PSK, lantaran mereka tidak sanggup membiayai kedua anaknya.
Belum lagi kasus yang dilaporkan pada KPAI, seorang Ibu di Samarinda yang tega menjual
keperawanan anaknya, padagal baru 11
tahun, hanya karena terlilit hutang.
Siapa yang tidak sedih mendengar kasus diatas. Seharusnya ayah
dan ibu menjadi teladan utama bagi anak-anaknya, menjadi pelindung di garda
terdepan bagi buah hatinya. Sungguh memprihatinkan jika mereka menjadi korban
pertama kedua orangtuanya. Mana mungkin
akan terlahir anak-anak yang solih dan cemerlang, apalagi berkarya untuk umat,
jika orang tuanya adalah pelaku kriminal. Anak-anak yang merupakan generasi
penerus bangsa, kini harus siap menjadi sampah bangsa.
Dengan demikian, wajar jika remaja hari ini, banyak yang
kehilangan identitasnya, lantaran kerja “kotor” orang tuanya. Mereka makan dari
hasil uang haram, maka jangan disalahkan jika mereka menjadi bebal, keimanan
seolah tak sudi menempel dalam darah daging mereka.
Kasus kasus diatas menggambarkan pada kita, bahwa Indonesia berada
dalam darurat ketahanan keluarga. Delapan fungsi keluarga (reproduksi, ekonomi,
sosial, protektif, rekreatif, afektif, eduktif, relijius) yang menjadi ciri
keluarga ideal, menjadi hal yang langka. Mengapa begitu mudahnya suami istri
melakukan kriminalitas? hanya demi mendapatkan kecukupan ekonomi dan
kebahagiaan dunia?
Sistem ekonomi liberal, sistem yang membebaskan bagaimana cara
memperoleh harta. Sistem yang membolehkan seseorang untuk mendzolimi orang
lain, hanya demi pemenuhan kebutuhan hidupnya. Begitu pun mandulnya sistem
hukum dalam mewujudkan fungsi sanksi yang menjerakan, dan mencegah pihak lain mengulang
kriminalitas, menjadi bagian penting dalam menciptakan tingkah laku pasutri
yang abnormal.
Negara Soko Guru
Ketahanan Keluarga
Keluarga adalah institusi terkecil dalam sebuah masyarakat.
Jika institusi kecil ini hancur, maka sangat mudah bagi sebuah peradaban
manusia, menjadi liar tak terarah. Oleh
karena itu, ketahanan keluarga menjadi bagian penting dalam menopang ketahanan
negara. Begitupun negara menjadi soko guru terciptanya ketahanan keluarga.
Delapan fungsi keluarga, tidak akan mungkin bisa
dilaksanakan secara sempurna jika negara tidak mendukungnya. Misalnya saja fungsi
ekonomi sebuah keluarga. Akan sulit terwujud tanpa bantuan negara. Ketika masyarakat dibiarkan begitu saja dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya, negara angkat tangan dalam menyelesaikannya, maka
bukan hanya kriminalitas yang menjadi ekses negative akibat sulitnya ekonomi,
akan keluar berbagai macam problema yang menghantam ketahanan keluarga. kasus
perceraian misalnya.
Data hinga oktober tahun 2016, ada 212ribu Janda baru di
Indonesia. Tercatat 315 ribu permohonan cerai diterima dipengadilan agama
seluruh Indonesia. Dari 315 ribu
permohonan cerai, sebanyak 224ribu permohonan gugat cerai oleh istri. Itu artinya
hampir 80% gugat cerai dari pihak istri.
Meningkatnya angka perceraian 5 tahun terakhir ini
(2010-2015) sebesar 59-80 persen (Kementrian agama). Menurut Muharam Marzuki,
Kepala Puslitbang, dari 2 juta pasangan yang menikah, sebanyak 15-20 persen
bercerai. Adapun alasan tertinggi perceraian adalah masalah ekonomi, apakah itu
suami kurang menafkahi atau income istri
lebih tinggi daripada suami.
Tentu peran negara sangatlah besar terrhadap ekonomi keluarga.
Negara seharusnya memberikan pemahaman bahwa yang berkewajiban mencari nafkah
adalah ayah. Ketika ibu turut andil dalam membantu perekonomian keluarga dan
mengabaikan kewajiban utamanya, mendidik anak. Hal itu bertentangan dengan
fungsi keluarga dan akan menimbulkan permasalahan baru, yaitu anak terabaikan. Namun
yang terjadi saat ini, justru negara mendorong para ibu untuk membantu
perekonomian keluarga, sebagai contoh program PEP (Pemberdayaan Ekonomi Perempuan) .
Bukan hanya memberikan pemahaman, negara juga wajib
menyediakan program dan sarana pelatihan agar individu-individu yang wajib
mencari nafkah, menjadi terampil. Negara
membuka lapangan pekerjaan seluas - luasnya untuk para ayah, bukan untuk para
ibu. Permodalan dan pengembangan akses usaha yang mudah, termasuk negara harus
mengawasi praktek curang dalam dunia usaha.
Ketika negara sudah memfasilitasi dan mendukung tercapainya
fungsi ekonomi keluarga dan ketujuh fungsi lainnya, niscaya tidak akan merebak
kasus pasutri yang melakukan kriminal seperti saat ini. Sistem negara yang kuat
adalah negara yang mampu menyelesaikan permaslahan tanpa menimbulkan masalah
yang baru disisi lain.
Sistem demokrasi yang berasakan sekuler, mencari solusi
dalam setiap permasalahnnya hanya dengan akal manusia yang terbatas, ditambah
sudut pandang yang pragmatis menyebabkan
ketahanan negara dalam sistem ini rapuh bak sayap kupu-kupu. Hanya syariat
Islam dalam bingkai Daulah Khilafah yang mampu menjadikan negara soko guru
dalam merealisasikan delapan fungsi keluarga. Hingga tercipta ketahanan
keluarga.
Kanti Rahmillah , S.T.P, M.Si
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar