2015, Sungguh
memprihatinkan, Indonesia menjadi sorotan dunia dalam permasalahan gizi buruk
pada balita. Menurut guru besar Universitas Indonesia, prof. Dr. Endang L.
Achani, Indonesia termasuk 17 negara diantara 117 negara yang saat ini memiliki
3 masalah gizi buruk (stunting, wasting dan overweight), tak hanya itu, Indonesia pun termasuk dari 47
negara dari 122 negara yang mempunyai masalah
anemia pada WUS (Wanita Usia subur), begitu pula dengan cakupan 3
intervensi (IMD, ASI EKSLUSIF, TTD
bumil) di Indonesia masih terbilang rendah.
Guru besar
UI, Endang, menjelaskan bahwa 9 bulan dan 2 tahun pertama pascalahir, merupakan
masa paling penting dalam kehidupan anak. Pasalnya, masa tersebut menjadi
penentu kehidupan mereka di masa mendatang. Oleh karena itu gizi balita pada
masa tersebut harus sangat diperhatikan oleh orang tuanya. Bila terjadi
kekurangan qizi pada masa tersebut, akibatnya bisa permanen.
Akibat
permanen tersebut, menurut dr Rachmat
Sentika (IDAI), yaitu gangguan pada tumbuh kembang otak, yang berakibat pada ketidaksempurnaan
dalam berfikir, yang diakibatkan rusaknya organ otak. khusus bagi perempuan, setelah
dia dewasa dan hamil, bisa mengakibatkan janin yang dikandungnya pun ikut
bermasalah . Lebih jauh, gizi buruk pada balita sangat berpengaruh terhadap
masa depan bangsa dan peradaban manusia.
Apa yang Salah ?
Menurut
riset kesehatan dasar secara nasional, 2 dari 10 balita di Indonesia masih
mengalami gizi buruk, yang dapat menghantarkan pada kematian. siapa yang
bertanggungjawab?
Angka Gizi buruk merangkak naik seiring
dengan naiknya angka kemiskinan, hal ini menandakan gizi buruk sangat erat
kaitannya dengan kemiskinan. Akibat harga pangan pokok melambung, warga miskin
semakin sulit mendapatkan pangan bergizi. Keterbatasan akses mereka terhadap
pangan, mengakibatkan balita, begitu juga orang dewasa mengalami gizi buruk
yang memprihatinkan.
Kasus gizi buruk yang meningkat, harus dianalisis bukan dari aspek
kesehatan saja, karena aspek lain justru lebih banyak pengaruhnya. Seperangkat
fasilitas medis dan edukasi yang diprogramkan pemerintah tidak cukup dalam
menyelesaikan permasalahan gizi buruk. Buat apa dibuat banyak posyandu yang
memberikan pelayanan kesehatan dan eduksi gizi, jika keterbatasan warga miskin
pada pangan bergizi tidak diperhatikan.
Sistem Neoliberalisme Mencengkram Indonesia
Sistem neoliberalisme yang menjadi
basis perekonomian kita, diakui atau tidak telah merenggut hak hak warga untuk
hidup sehat, apalagi sejahtera dan bahagia. Hasil sumber daya alam dan energy
indonesia yang seharusnya bisa memenuhi kebutuhan warga, malah diobral ke
pengusaha asing, lihat saja pemerintahan hari ini mencabut subsidi BBM,
menaikan TDL, kebijakan tariff terhadap produk-produk impor dihilangkan dll.
Oleh karena itu, permasalahan gizi
buruk bukan hanya permasalahan kesehatan pada balita saja, tapi lebih kompleks,
ini adalah permasalahan turunan dari permasalahan pokok, yaitu diterapkannya
sistem ekonomi bebas yang menghilangkan peranan pemerintah dalam melindungi
warganya.
Sistem neolib yang menyebabkan
kesengsaraan yang tidak berkesudahan ini, menjadikan penguasa hari ini tunduk
pada pengusaha yang memiliki modal. Bukan lagi menjadi pelayan rakyat yang
mengurusi rakyat, hingga rakyat tidak ada yang merasa terdzolimi.
Berbeda dengan sistem ekonomi Islam
yang lahir dari sistem pemerintahan berbasis syariat Islam. Ketentuan aturannya
mengharuskan penguasa menjadikan rakyat sebagai tuan yang harus dipenuhui
kebutuhannya. Sumber daya alam juga energi yang dikelola, haruslah sebaik
mungkin dan diperuntukan seluruhnya bagi warganya. Begitupun Keterbatasan
pangan yang ditandai dengan harga fluktuatif mampu dikendalikan dengan tidak
bergantung pada dollar.
Ketika seluruh rakyat nya sudah
terjamin kebutuhan pokonya, akses pada pangan bergizi menjadi hal yang mudah.
tidak akan ada lagi kasus gizi buruk yang diakibatkan oleh kemiskinan.
Namun hal demikian akan sulit jika
keberadaan sistem yang diterapkan saat ini masih bersisitemkan demokrasi, bukan
Islam. Undang-undang atau aturan yang dipakai adalah aturan yang lahir dari
suara mayoritas, bukan syariat. Padahal syariat islam menjamin kebutuhan pokok
seluruh warga tanpa kecuali. Merupakan dosa besar bagi penguasa yang lalai
terhadap amanahnya, yaitu mengurusi umat. Tentunya penguasa yang amanah hanya
akan lahir dari sistem yang benar, yaitu sistem Khilafah. Wallahuamalam
Kanti Rahmillah, S.T.P, M.Si
Muslimah Hizbut Tahrir
24 April 2015
www.islampos.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar