Selasa, 09 Januari 2018

Gizi buruk Balita, Akibat Neoliberalisme

2015, Sungguh memprihatinkan, Indonesia menjadi sorotan dunia dalam permasalahan gizi buruk pada balita. Menurut guru besar Universitas Indonesia, prof. Dr. Endang L. Achani, Indonesia termasuk 17 negara diantara 117 negara yang saat ini memiliki 3 masalah gizi buruk (stunting, wasting dan overweight),  tak hanya itu, Indonesia pun termasuk dari 47 negara dari 122 negara yang mempunyai masalah  anemia pada WUS (Wanita Usia subur), begitu pula dengan cakupan 3 intervensi  (IMD, ASI EKSLUSIF, TTD bumil) di Indonesia masih terbilang rendah.
Guru besar UI, Endang, menjelaskan bahwa 9 bulan dan 2 tahun pertama pascalahir, merupakan masa paling penting dalam kehidupan anak. Pasalnya, masa tersebut menjadi penentu kehidupan mereka di masa mendatang. Oleh karena itu gizi balita pada masa tersebut harus sangat diperhatikan oleh orang tuanya. Bila terjadi kekurangan qizi pada masa tersebut, akibatnya bisa permanen.
Akibat permanen tersebut, menurut  dr Rachmat Sentika (IDAI), yaitu gangguan pada tumbuh kembang otak, yang berakibat pada ketidaksempurnaan dalam berfikir, yang diakibatkan rusaknya organ otak. khusus bagi perempuan, setelah dia dewasa dan hamil, bisa mengakibatkan janin yang dikandungnya pun ikut bermasalah . Lebih jauh, gizi buruk pada balita sangat berpengaruh terhadap masa depan bangsa dan peradaban manusia.
Apa yang Salah ?
Menurut riset kesehatan dasar secara nasional, 2 dari 10 balita di Indonesia masih mengalami gizi buruk, yang dapat menghantarkan pada kematian. siapa yang bertanggungjawab?
Angka Gizi buruk merangkak naik seiring dengan naiknya angka kemiskinan, hal ini menandakan gizi buruk sangat erat kaitannya dengan kemiskinan. Akibat harga pangan pokok melambung, warga miskin semakin sulit mendapatkan pangan bergizi. Keterbatasan akses mereka terhadap pangan, mengakibatkan balita, begitu juga orang dewasa mengalami gizi buruk yang memprihatinkan.
Kasus gizi buruk yang meningkat, harus dianalisis bukan dari aspek kesehatan saja, karena aspek lain justru lebih banyak pengaruhnya. Seperangkat fasilitas medis dan edukasi yang diprogramkan pemerintah tidak cukup dalam menyelesaikan permasalahan gizi buruk. Buat apa dibuat banyak posyandu yang memberikan pelayanan kesehatan dan eduksi gizi, jika keterbatasan warga miskin pada pangan bergizi tidak diperhatikan.
Sistem Neoliberalisme Mencengkram Indonesia
Sistem neoliberalisme yang menjadi basis perekonomian kita, diakui atau tidak telah merenggut hak hak warga untuk hidup sehat, apalagi sejahtera dan bahagia. Hasil sumber daya alam dan energy indonesia yang seharusnya bisa memenuhi kebutuhan warga, malah diobral ke pengusaha asing, lihat saja pemerintahan hari ini mencabut subsidi BBM, menaikan TDL, kebijakan tariff terhadap produk-produk impor dihilangkan dll.
Oleh karena itu, permasalahan gizi buruk bukan hanya permasalahan kesehatan pada balita saja, tapi lebih kompleks, ini adalah permasalahan turunan dari permasalahan pokok, yaitu diterapkannya sistem ekonomi bebas yang menghilangkan peranan pemerintah dalam melindungi warganya.
Sistem neolib yang menyebabkan kesengsaraan yang tidak berkesudahan ini, menjadikan penguasa hari ini tunduk pada pengusaha yang memiliki modal. Bukan lagi menjadi pelayan rakyat yang mengurusi rakyat, hingga rakyat tidak ada yang merasa terdzolimi.
Berbeda dengan sistem ekonomi Islam yang lahir dari sistem pemerintahan berbasis syariat Islam. Ketentuan aturannya mengharuskan penguasa menjadikan rakyat sebagai tuan yang harus dipenuhui kebutuhannya. Sumber daya alam juga energi yang dikelola, haruslah sebaik mungkin dan diperuntukan seluruhnya bagi warganya. Begitupun Keterbatasan pangan yang ditandai dengan harga fluktuatif mampu dikendalikan dengan tidak bergantung pada dollar.
Ketika seluruh rakyat nya sudah terjamin kebutuhan pokonya, akses pada pangan bergizi menjadi hal yang mudah. tidak akan ada lagi kasus gizi buruk yang diakibatkan oleh kemiskinan.
Namun hal demikian akan sulit jika keberadaan sistem yang diterapkan saat ini masih bersisitemkan demokrasi, bukan Islam. Undang-undang atau aturan yang dipakai adalah aturan yang lahir dari suara mayoritas, bukan syariat. Padahal syariat islam menjamin kebutuhan pokok seluruh warga tanpa kecuali. Merupakan dosa besar bagi penguasa yang lalai terhadap amanahnya, yaitu mengurusi umat. Tentunya penguasa yang amanah hanya akan lahir dari sistem yang benar, yaitu sistem Khilafah. Wallahuamalam

Kanti Rahmillah, S.T.P, M.Si

Muslimah Hizbut Tahrir

24 April 2015
www.islampos.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar