Sabtu, 26 November 2011

Refleksi 1 muharam 1432....


Ketika bertanya pada benak, tentang sesuatu yang mungkin banyak orang pertanyakan, saat itulah kebimbangan kembali lagi hinggap.apakah ini yang dinamakan ujian? Sering aku bersyukur atas ujian yang aq dapatkan dari penciptaku begitu “lancarnya”, hidupku datar saja, ketika kubandingkan dengan orang-orang sekitarku. Mungkin konflik yang pernah aku dapatkan seperlimanya dari konflik yang mereka dapatkan.
Sering kupertanyakan apakah juga artinya semua keimananku hanya pada batas ini?bukankah setiap ujian yang seorang hamba dapatkan sesuai dengan kadar imannya?terlalu abstrak sepertinya untuk aku pereteli hingga membentuk suatu makna.
Jadi singkatnya, seringkali aku bertanya apakah aku menjadi orang yang autis dalam setiap masalahku?apakah aku menjadi orang yang hanya memutari tingkatan tangga yang sama ?ibadahku, panjatan doaku?air mataku yang jatuh saat aku mengeluh pada NYA? Benarkah itu semua semata-mata kupersembahkan untuk penciptaku.
Merasa puas terhadap apa yang telah aku dapatkan?apakah itu perwujudan rasa syukur?ataukah perwujudan sebuah keputusasaan dalam proses pencapaian ambisiku?yang akhirnya menjadi klaim atas tugasku sebagai seorang manusia—berusaha.
Ketika ku amati teman2 sejawat, ku kagumi satu persatu, mereka sudah menjadi orang2 yang hebat, mereka sudah menjadi apa yang mereka impikan, sedangkan aku, aku masih tetap menjadi diriku 5 tahun yang lalu, aku masih menjadi diriku dengan segala kebimbanganku.
Ada sesosok yang akhir2 ini ingin aku menelisik lebih dalam seperti apa kehidupannya, dia membuatku iri, ia membuatku bertanya, ko bisa dia seperti itu?kepintarannya dalam berbicara?keramahannya dalam bertatakrama?prestasinya yang segudang?kesempatan2 emas yang dia dapatkan?sering aku bertanya, kenapa bukan aku yang mendapatkanny?kenapa semua bermuara pada dia?atau ini hanyalah sebuah fitrah?fitrah bahwa setiap diri manusia pasti merasakan kurang terhadap dirinya?
Robb...ternyata pemahamanku menjawab pertanyaan dan kegundahan ini, ,...ternyata aku terlalu faham untuk memeprtanyakan qodo ku .....

Kuberlindung kepadaMu dari godaan syaitan yang terkutuk.....

Kanti rahmillah

Sabtu, 22 Oktober 2011

analisis kampus

Analisis realitas kampus


Berbekal dari pembacaan realitas yang benar, maka ketika kita bicara kampus sebagai basis intelektual yang didalamnya berisikan orang2 yang haus dengan ilmu. Maka tak aneh jika basis pergerakan biasanya diawali dari kampus. Termasuk pemikiran2 kufur yang mereka coba cokolkan kepada kita, mereka tanamkan awalnya melalui kampus. Maka semua “pemain” menyadari bahwa kampuslah corong perubahan.
Semua faham hal tersebut, tak terkecuali musuh islam, mereka mencoba memandulkan potensi pemuda dengan menghembuskan al wahn kedalam jiwa2 pemuda. Mereka dengan sistematis merubah arah pandang pemuda2. Mereka memberikan definisi ”bermanfaat” hanya untuk dirinya,...secara agregat sdh bisa dikatakan yang mendominasi kaum intelektual skg ini adalah pemikiran egosentris, hanya memikirkan diri sendiri. Ketikapun mereka meneliti semata2 hy untuk prestise dan materi belaka. Ketika pun ada niat untuk kemaslahatan umat, itu jika kepentingan pribadinya sdh terpenuhi.
Mereka tidak sepenuhnya bersalah, karena sistemlah yang membuat mereka demikian, ada skenario besar untuk memandulkan potensi anak bangsa. Mahasiswa cenderung disibukan dengan hal2 teknis dalam belajarnya (tugas, laporan, )tanpa diajak berfikir hakikat dari ilmu yang dipelajari, dihembuskan enterpreunership yang akhirnya memalingkan mereka terhadap kenyataan bahwa merekalah tumpuan umat. Isu terorisme, radikalisme membuat mahasiswa phobia terhadap islam mabda, energi besarnya tertumpulkan dengan sajian2 televisi yang menumpulkan otak (band, film korea). Berfikir bahwa kuliah adalah rutinitas semata dan merupakan tahapan dari kehidupan yang selanjutnya akan diisi tahapan tersebut dengan bekerja, kaya, bersenang2 dll.
Pengajar disibukan dengan penelitian2 yang murahan, akhirnya menyebabkan kualitas mengajar menurun, dan berorientasi pada materi yang akan dia dapatkan dari penelitian. Menjadi dosen adalah profesi bukan lagi wujud pengabdian dia terhadap masyarakat, bukan lagi menjadi wujud syukur dia karena telah diberikan amanah (ilmu) yang harus di distribusikan kepada yang berhak. Sekali lagi ini bukan seratus persen kesalahan para dosen. Ada upaya jahat yang luar biasa yang sedang menggerogoti kita secara sistematis.
Jangankan berfikir untuk akhirat, berfikir tentang pertanggungjawaban mereka di akhirat, faham bahwa kita akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak saja mungkin tak melekat dalam nafas mereka. Apalagi jika berbicara kontribusi mereka terhadap umat, hal tersebuat sepertinya sudah jauh dari benak mereka.
Masyarakat kampus keliru memahami arah pandang kehidupannya (mafahim), masyarakat kampus menjadi individu-individu yang tak mengerti cara memandang kehidupan, tak mengetahui hakikat kehidupan- bahwa hidup semata-mata hanya untuk allah, tidak difahami dengan sebenar-benarnya. Tak memahami konsep islam adalah sebuah ideologi yang akan menuntun mereka dalam setiap langkahnya. Mereka tak menjadikan islam sebagai penyelesai masalah.
Termasuk juga standar hidupnya (maqoyis) adalah asas manfaat, yang menjadikan pilihan-pilihan yang dia ambil bersandarkan pada manfaat, belum lagi ditambah al wahn (cinta dunia takut mati) yang begitu mengakar belukar menjadikan mereka kebingungan. Yang tersodorkan di kampus adalah standar yang disistemkan,
Tentu saja qonaah (ketundukan) yang masih loyal kepada sistem, artinya kebijakan apapun yang dikeluarkan oleh penguasa, seolah-olah itu adalah yang terbaik buat kita, walaupun realitas tersebut tidak terindra.
Akhirnya bisa kita simpulkan masyarakat kampus masih tejerat MMQ (mafahim, maqoyis, qonaah) sistem saat ini, ikatan penguasa(sistem) dan masyarakat kampus masih erat melekat.
Jika kita lihat sejarah, Daulah islam kuat karena pengurusan daulah terhadap warganya terkait dengan MMQ yang kuat, begitupun sebaliknya daulah mulai menuju kebawah tatkala pengurusan terhadap MMQ yang tidak seintensif ketika daulah khilafah masih kuat.
Cara agar MMQ yang terjalin antara sistem (penguasa) dan rakyat sekarang ini termasuk kampus, adalah MMQ non islam, MMQ sekuler kapitalis. Maka kita harus memutusnya (dorbul alaqoh) dengan cara kasful khutot (membongkar makar) pemikiran2 kufur yang membelenggu. Agar kita mampu mengupas pemikiran kufur maka kita harus faham realitas ide tersebut. Lalu cara dorbiul alaqoh lain dengan kifahul siyasi (perjuangan politik), gozwul fikr, thalabunusroh dll. Hal tersebut harus dilakukan secara masif dan cepat.Ombak besar dengan kecepatan yang luar biasa akan mampu mengubah daratan.
Selain aktivitas diatas harus pula mengopinikan MMQ Islam, sehingga putuslah MMQ mereka dengan sistem yang ada. Kemudian karena tabiatnya masyarakat adalah membutuhkan pemimpin maka syarikah saat itu sudah siap menggantikan kepemimpinan, syarikah siap membawa rakyat menuju gerbong kebahagiaan hakiki menuju MMQ yang sohih dengan menerapkan syariat islam dibawah naungan daulah khilafah Islamiyah.
Poin penting dari tulisan ini adalah kembalilah pada khitoh perjuangan, artinya ketika sebuah gerakan kebingungan dengan arah geraknya, maka kembalilah pada tsaqofah partai yang tentunya disarikan dari alquran dan assunah.
Fahami realitas dengan metode yang benar,sehingga tidak menjadikan realitas tersebut sumber hukum, setelah tergambar dengan jelas realitas tersebut, apapun hasilnya maka kembalikan pada khitohnya.
Realitas kampus demikian, ada MMQ civitas akademik (mahasiswa,dosen,birokrat) yang khas, yaitu MMQ kapitalis , maka yang kita lakukan putuskan MMQ civitas akademik dengan sistem melalui kontak masif, gozwul fikr, kasful khutot, kifahusiyasi, thalabunusroh dll. Hingga akhirnya putus hub mereka dengan sistem (penguasa) –terjadi dorbul alaqoh.
Dengan meminta pertolongan allah yang maha kuasa, yang mengetahui dibalik seluruh rahasia kehidupan, yang menjanjikan khilafah pasti tegak. Maka pengemban dakwah kembalilah pada hakikatnya seorang pengemban dakwah.
Taskif musrifah sangat dibutuhkan, karena inilah yang menjadi titik lahirnya para pengemban dakwah yang militan, lalu tak lupa struktur mengurusi kader yg menjadi tanggung jawabnya sesuai dengan khitoh hizb.

Wallahualam bi sawab......

kanti rahmillah

realitas kampus....

TERBENTUKNYA SEBUAH REALITAS
(mengupas realitas kampus bagi aktivis pergerakan)


Sebuah realitas akan mampu tergambar dengan jelas di benak seseorang ketika dia serius dalam mengamatinya, serius dalam ikhtiyar untuk memahaminya. Semakin detil seseorang mengerahkan daya dan upayanya dalam mewujudkan gambaran realitas dalam benaknya, akan semakin tercipta pula gambaran realitas yang mendekati sempurna. Begitupun kampus, siapa saja yang menginginkan dibenaknya tergambar dengan jelas gambaran realitas kampus, maka dia harus serius dalam memahaminya.
Sebuah Realitas yang terserap pada benak akan semakin siap diolah menjadi sebuah pemikiran, tatkala sudah menjadi sebuah “model” yang baik . artinya gambaran realitas yang ada dibenak harus mampu menggambarkan realitas yang sesungguhnya. (sebuah model yang baik adalah model yang mampu menjelaskan dengan menyeluruh gambaran sebuah realitas). Semakin baik model, semakin tinggi tingkat akurasinya.
Sebelum kita membahas bagaimana metode membuat model yang baik? Pertama yang harus kita lakukan adalah memahami dengan benar hakikat berfikir. Karena seseorang yang memahami hakikat dari berfikir, dan tentunya metode berfikir, maka dia akan memposisikan realitas menjadi sebuah komponen berfikir, bukan semata sumber hukum.
maka syikh Taqiyudin annabhni dalam buku hakikat berfikir nya, mendefinisikan komponen berfikir kedalam 4 komponen, dimana ketika salah satu saja terabaikan, alias ada pengabaian dalam bentuk ketidakfahaman atau ketidakseriusan dalam memahaminya, maka tak akan sempurna hasilnya. Komponen tersebut adalah fakta, informasi seebelumnya, otak dan akal.
akhirnya, jika kita ejawantahkan pada sebuah pergerakan, sebuah gerakan akan mampu bergerak dengan arah yang benar, tatkala pada awalnya dia mampu memahami realitas yang terjadi. Dengan memahami realitas maka gerakan tersebut mampu menentukan arah gerakannya.
Dan untuk memahami realitas tersebut dibutuhkan indra untuk mengambilnya—untuk dijadikan sebuah model dalam benak. Semakin peka indra sebuah pergerakan, semakin mampu dia melangkah menuju pada keberhasilan cita2 nya. Kepekaan ini tentunya harus diasah, cara yang paling signifikan agar kepekaan indranya tajam, sebuah pergerakan harus mampu membenturkan diri dengan realitas tersebut. Bagaimana pun juga data primer akan mendekati kesempurnaan daripada data sekunder. Artinnya sebuah gerakan tersebut harus membenturkan dirinya dengan realitas. Daripada hanya sekedar menyimpulkan dari informasi2 yang ia dapat.
Tentunya jika kita berbicara sebuah gerakan islam maka dia terdiri dari individu2 yang memang dari niat ketergabungannya adalah untuk berdakwah. Dan ini harus benar2 dipastikan (karena banyak kasus ditemukan, bahwa ketergabungan seseorang menjadi bagian gerakan bukan karena dakwah, bahwa dakwah menjadi poros hidup tidaklah difahami dengan benar).
Individu2 gerakan harus dengan masif membenturkan dirinya dengan realitas. Caranya dengan kontak. Begitu banyak mekanisme mengontak, yang akan hanya menjadi sebuah teori belaka jika tidak dipraktekan. menghadiri event2 yang dibuat oleh masyarakat, agar kita mengetahui atmosfer realitas dan mampu membuat model dengan baik.
Hal ini jika diabaikan, akan mengakibatkan model yang bias, artinya jika benturan yang dilakukan tak sempurna akan terjadi pengambilan asumsi dalam setiap langkah gerakan tersebut.
Setelah kita faham realitas dan juga indra, maka tak boleh luput dari perhatian kita terkait dengan organ tempat kita berfikir, yaitu otak, tak usah kita kita hiraukan IQ, karena persentase nya hanya 10% (damiri mutohari). Lagi pula harus dipertanyakan pula keabsahan cara penghitungannya?namun yang pasti cukuplah para pengemban dakwah mengikuti sunah rosul-- Cara merawat otak: Makanan (toyib); habits (ex/ tidur diwaktu makruh—subuh , asar ; melakukan banyak hal mubah—nonton, ngobrol ngaler ngidul; dan tidak menjalankan amalan sunah yaumiyah lainny) inilah hal2 yang akhirnya membuat otak kita tumpul, para mujtahid, ulama, mereka senantiasa memperhatikan hal2 kecil dalam setiap hidupnya. Apakah sudah habits nya, makannya sesuai dgn rosul? karena kepastian itu sudah cukup untuk menggambarkan apakah kinerja otak kita optimal dalam kinerjanya.
Terakhir adalah maqlumat tsabiqoh/informasi sebelumnya. Adalah sebuah kecerobohan yang luar biasa jika para pengemban dakwah bertindak tanpa maklumat tsabiqoh. Perbanyak maklumat tsabiqoh dengan mutatabi realitas, dan yang harus digarisbawahi adalah mempertajam tsaqofah gerakan. Bagaiman bisa seorang pengemban dakwah mampu merealisasikan cita2 harokah jika mafhum cara bergerak pun belum mendalam, tidak tajam, setumpul dan seringan batu apung.
Maka dibutuhkan taskif yang intensif, taskif yang berkualitas, taskif yang terjadi didalamnya talqiyan fikriyan. Tujuan taskif adalah menciptakan individu yang bersyaksiyah islam, menjadikan individu yang menjadi mufakirun siyasiyun, siasiyun mufakirun, dan menanamkan karakteristik menjadi pengemban dakwah. Sehingga dari sana lahir para pengemban dakwah yang militan.
Pendek kata ketika gambaran realitas kita sempurna karena kepekaan indra kita, terolah bersama dengan tsaqofah dan maklumat yang mendalam, tak lupa organ tempat mengolah yaitu otak haruslah dalam kondisi yang optimal, maka akan terlahir darinya sebuah pemikiran yang muhadadah, pemikiran yang mendalam tentang sesuatu. Dari hasil pemikiran itulah subuah gerakan dapat merumuskan langkah dengan cara2 yang mampu menghantarkan pada cita2 gerakan, sebuah gerakan akan mampu merumuskan masalah, dan mencari jalan keluar dengan tuntuna syara. Tak ada lagi asumi dan kebingunan dalam bertindak. Yang ada adalah sebuah optimisme tentang keberhasilan cita2 gerakan.


kanti rahmillah

Mampukah Bank Syariah Menjadi Solusi di Tengah Sistem Neolib?

Seperti yang sudah diramalkan para ekonom, krisis moneter yang terjadi di tahun 1997 sampai krisis dunia tahun 2008 menyeret indonesia menuju krisis ekonomi yang cukup signifikan. Terjadi inflasi besar-besaran, yang menyebabkan melemahnya nilai rupiah. Hal ini secara signifikan dirasakan rakyat dengan melambungnya harga-harga barang termasuk didalamnya kebutuhan pokok.
Bank-bank penopang perekonomian negeri ini berjatuhan, pemerintah harus merogoh kocek ratusan triliun (kasus BLBI saja pemerintah harus kehilangan 650 triliun). Ditengah bank-bank konvensional koleps, bank syariah tetap kuat dan bertahan menjalani krisis tersebut. Sejak saat itulah wacana ekonomi islam semakin digandrungi, terutama dikampus-kampus yang memiliki fakultas ekonomi, termasuk IPB yang sekarang memiliki program studi ekonomi syariah.
Alasan utama mengapa bank syariah yang terkenal dengan sistem non riba plus zakat relatif lebih kuat dibanding bank konvensional, karena Bank syariah tidak melaksanakan sistem bunga dalam seluruh aktivitasnya, sedangkan bank kovensional justru menopangi hidupnya dengan bunga. Dan kita tahu suku bunga berpengaruh positif terhadap inflasi, sehingga sangat wajar bank konvensional rentan terhadap krisis.
Namun pertanyaannya sekarang adalah, apakah bank syariah yang landasannya berdasarkan alquran dan assunah mampu bertahan di sistem yang ribawi ini? Jika kita melihat arah kebijakan ekonomi negara kita, yang cenderung mengadopsi sistem ekonomi neoliberalisme yang bertumpu pada utang dan investasi pada pertumbuhan perekonominya. Maka kita bisa melihat begitu kontrasnya dengan ekonomi islam yang melarang ada aktifitas riba (utang dan investasi ala neolib pasti mengandung suku bunga, artinya sistem ini berbasis ribawi).
Lantas bagaimana fenomena bank-bank syariah yang menjamur sekarang ini? Apakah mampu bank-bank tersebut murni berbasis non ribawi? Realitas yang ada mengatakan bahwa akan sulit bank syariah hidup berdampingan dengan bank konvensional, akhirnya bank-bank syariah jika ingin hidup haruslah menyesuaikan diri maka merekapun terlibat riba, walaupun istilah riba sudah dimodifikasi kedalam istilah yang samar, bahkan tidak sedikit alasan keberadaan bank syariah hanya merupakan trand permintaan pasar saja yang meningkat.
jika ekonomi Syariah dipandang seperti itu, maka ekonomi Syariah hidup berdampingan dengan ekonomi ribawi sebagai subordinasi Kapitalisme. Misalnya, manakala krisis keuangan global telah memukul dengan keras lembaga-lembaga keuangan ribawi di seluruh dunia, maka ekonomi Syariah dipandang sebagai pasar alternatif di dalam menggali laba.
Tentunya dalam hal ini, akan sulit pula ekonomi syariah menjadi solusi atas permasalahan ekonomi bangsa ini. Eksploitasi yang terjadi akibat utang luar negeri dan juga investasi pemodal asing adalah konsekuensi atas diterapkannya sistem neoliberlisme di negara kita. Secara otomatis jika kita mengetahui bahwa secara agregat, penyebab terpuruknya indonesia adalah eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam kita, maka solusi atas permasalahan ini agar tuntas adalah perubahan sistem. Bukan hanya sekedar resuffle kabinet yang hanya membuang uang negara tanpa ada konsep yang jelas menuju perubahan nasib bangsa. “menteri berubah, rakyat tetap makan teri” hade line sebuah media masa, cukup menggambarkan kesadaran rakyat akan sia-sianya resuffle kabinet.
Terakhir, dan ini adalah jawaban atas judul diatas, mampukah bank syariah menjadi solusi atas kemiskinan, kebodohan, kurang gizi, korupsi, kriminalitas, amoral, dan semua yang melanda negeri ini? Jawabannya iya, jika negeri ini terbebas dari kukungan sistem ekonomi neoliberalisme, tetapi jangan berharap negeri ini akan membaik apapun instrumen kebijakannya, apapun konsep bank nya jika masih menggunakan sistem yang sama. Jika memang bank syariah mampu menjadi solusi maka alternatif perubahan sistem menjadi sistem islam mutlak dilakukan.

kanti rahmillah

Rabu, 20 Juli 2011

tugas ulasan

MEKANISME TRANSMISI KEBIJAKAN MONETER MELALUI JALUR SUKU BUNGA DAN NILAI TUKAR


ULASAN TESIS

Tesis dengan judul “Analisis Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Melalui Jalur Suku Bunga dan Nilai Tukar” Ditulis oleh Ahmad Basith 2007, secara umum bertujuan untuk menganalisis mekanisme transmisi kebijakan moneter di Indonesia, khususnya suku bunga dan nilai tukar. Tujuanumum tersebut dicapai melalui tahapan pencapaian tujuan khusus sebagai berikut: (1) Menganalisis jalur suku bunga dan nilai tukar dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter dan pengaruhnya terhadap beberapa indikator makroekonomi, (2) menentukan jalur transmisi kebijakan moneter yang paling berpengaruh.

Data yang digunakan adalah data time series dari bulan Januari 1993 sampai Desember 2004. Dan untuk mencukupi data deret waktu (time series data) maka deret waktunya menggunakan waktu bulanan. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan ekonometrika dengan model Vector Error Correction Model (VECM).
Tesis terdiri dari cover judul, lembar pernyataan, abstrak, lembar pengesahan, riwayat hiidup, kata pengantar, daftar isi, daftar tabel, daftar gambar, daftar lampiran, 6 bab, daftar pustaka dan lampiran. Ulasan tesis terdiri dari tiga aspek yaitu: (1) Sistematika; (2) Konsistensi; dan (3) Substansi.

1.SISTEMATIKA

Penulisan tesis Ahmad Basith (2007) secara umum sudah mengikuti sistematika penulisan tesis IPB. 6 Bab dalam tesis sudah disusun secara sistematis dimulai dari bab pertama yaitu pendahuluan yang menjabarkan latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian dan ruang lingkup penelitian. Bab kedua merupakan tinjauan pustaka yang menjabarkan subbab-subbab yaitu kebijakan moneter, kebijakan moneter di Indonesia dan tinjauan studi terdahulu.

Bab ketiga merupakan kerangka pemikiran teoritis yang dijabarkan dalam keterkaitan sektor moneter dan sektor riil, teori moneter klasik, teori moneter keynesian, pasar barang dan pasar uang, permintaan agregat dan penawaran agregat dalam perekonomian terbuka, mekanisme transmisi kebijakan moneter dan model vector autoregression. Bab keempat merupakan metode penelitian yang dijabarkan dalam jenis dan sumber data, metode analisis. Bab kelima adalah hasil dan pembahasan yang terdiri dari pengujian awal, pengujian lag Optimal dan Uji Kointegrasi, Analisis Vector error Correction Model , mekanisme transmisi moneter melalui jalur suku bunga, mekanisme transmisi moneter melalui jalur nilai tukar, dan ringkasan pembahasan. Bab keenam adalah kesimpulan, implikasi kebijakan dan saran untuk penelitian lebih lanjut.

2. KONSISTENSI

Ahmad Basith (2007) sudah konsisten secara substansi dimulai dari pendahuluan sampai dengan kesimpulan dan saran. Latar belakang, perumusan masalah dan tujuan penelitian secara konsisten dilanjutkan dengan pembahasan, kesimpulan dan saran yang sesuai. tesis secara konsisten membahas dalam ruang lingkup yang bersifat nasional dengan menganalisis mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur suku bunga dan nilai tukar.

Konsistensi dalam penulisan masih terdapat beberapa kesalahan, diantaranya :
1)Abstrak masih ditulis lebih dari 1 paragraf
2)Terdapat penulisan yang tidak konsisten, seperti :
a.Penulisan makroekonomi, tetapi masih terdapat penulisan makro ekonomi hal 6 pada Abstrak
3)Terdapat kesalahan penulisan, seperti :
a.Grange, seharusnya Grange . (Halaman 52)
b.Lag, seharusnya Lag. (Halaman55)
c Eviewss seharusnya Eviewss (halaman 55)

1.SUBSTANSI

Ulasan substansi disertasi secara khusus meliputi ulasan mengenai substansi judul, abstrak, 6 bab, daftar pustaka dan lampiran yaitu sebagai berikut :

1)Judul
Judul sudah memberikan gambaran yang jelas bagi pembaca dan dapat menerangkan penelitian apa yang dibahas dalam tesis, namun judul belum menggambarkan metode apa yang digunakan peneliti dalam tesisnya.

2) Abstrak
Abstrak sudah memberikan gambaran singkat mengenai keseluruhan isi tesis, karena isi abstrak menjabarkan latar belakang, tujuan, metode dan kesimpulan, sehingga pembaca dapat dengan ringkas mengetahui point dari penelitian secara keseluruhan. Namun abstrak terdiri dari 3 paragraf padahal aturan penulisan abstrak mengharuskan abstrak dalam 1 paragraf.

3)Bab I. Pendahuluan
Pendahuluan sudah ditulis secara sistematis yaitu terdiri dari : (1) Latar belakang, (2) Perumusan masalah, (3) Tujuan penelitian, (4) Kegunaan penelitian dan (5) Ruang lingkup penelitian.Secara substansi latar belakang yang diuraikan penulis sudah cukup baik, namun ada beberapa hal terkait substansinya yang sedikit kurang, yaitu:

(1) penulis kuang memberikan fakta (data), sehingga statment nya cenderung terkesan “gosip” seperti pada hal 1, “...kondisi makroekonomi dalam beberapa tahun membaik, tercermin dari laju inflasi, stabilnya nilai tukar, dan turunnya suku bunga....” . tidak ada data yang mendukung statment tersebut.

(2)Penulis tidak menjabarkan kondisi perekonomian Indonesia sebelum krisis, padahal identifikasi awal bahwa salah satu penyebab lambatnya pemulihan ekonomi Indonesia dibandingkan dengan Asia lainnya yang terkena krisis adalah melemahnya saluran kredit perbankan pasca krisis 1997. Padahal faktor Melemahnya kredit dipengaruhi besar oleh nilai tukar dan suku bunga.

Perumusan masalah secara substansi sudah sesuai dengan fenomena yang terjadi di Indonesia terkait dengan mekanisme transmisi kebijakan moneter yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Rumusan masalah dibuat menjadi 2 pertanyaan yang mengacu pada uraian permasalahan.

Tujuan penelitian terdiri dari 2 poin, yang sesuai dengan rumusan masalah, kegunaan penelitian sudah menjelaskan apa saja kegunaan dari dilakukannya penelitian pada tesis bagi bank Indonesia, namun penulis tidak menjelaskan kegunaan tesis secara umum, kegunaan bagi masyarakat, civitas kampus, orang yang terlibat dan bahkan kegunaan bagi penulisnya sendiri.Adapun ruang lingkup penelitian dalam tesis ini, penulis tidak mencantumkan batasan-batasan yang jelas dalam ruang lingkup tesis ini.

4)Bab II. Tinjauan Pustaka

Bab ini merupakan tinjauan pustaka yang menjelaskan pengertian dan kondisi kebijakan moneter secara umum, lalu menjelaskan kondisi kebijakan moneter di Indonesia serta menjelaskan hasil dari studi terdahulu.

5)bab III Kerangka Pemikiran Teoritis
Bab ini terdiri dari 7 subbab. Subbab pertama yang merupakan pengantar subbab-subbab setelahnya menjelaskan keterkaitan sektor moneter dan sektor riil. Subbab kedua menjelaskan teori moneter klasik yang terfokus pada pembahasan teori kuantitas uang dan efektifitas kebijakan moneter. Subbab ketiga menjelaskan teori moneter keynesian yang terfokus pada pembahasan permintaan uang untuk transaksi, spekulasi, total dan juga efektifitas kebijakan moneter ala keynesian. Subbab keempat menjelaskan pasar barang dan pasar uang. Subbab kelima menjelaskan permintaan dan penawaran agregat dalam perekonomian terbuka. Subbab keenam menjelaskan tentang mekanisme transmisi kebijakan moneter yang dibatasi hanya membahas jalur suku bunga, jalur nilai tukar dan jalur kredit. Subbab terakhir menjelaskan apa itu model Vector Autoregression.
Subbab ini menjelaskan awal mula dikembangkanya VAR bahwa VAR merupakan reaksi terhadap kegagalan modal besar makroekonomi dalam mengestimasi situasi perekonomian era 1970-an. Sulitnya membedakan antara variabel ensdogen dan eksogen membuat Sims

(penemu VAR) mencari model lain.
Disampaikan pula, VAR merupakan kelanjutan dari kritik moneteris terhadap Keynesian, artinya VAR dikembangkan atas dasar kritik terhadap model-model besar tersebut dan VAR menawarkan model yang sederhana dan menggunakan jumalah variabel yang minimalis dengan variabel independennya adalah lag yang semuanya variabel endogen. Lalu VAR pun merupakan kelanjutan dari uji kausalitas Granger.

VAR pun menuai kritik, diantaranya adalah sifatnya ateoritis. Maksudnya dalam analisis VAR interpretasi terbatas pada perilaku historis data karena tekanannya lebih pada analisis peramalan dan harus dilakukan identifikasi restriksi.
Dalam tesis pun dijelaskan bahwa VAR adalah suatu sistem persamaan yang memperlihatkan setiap variabel sebagai fungsi dari konstanta dan nilai lag dari variabel itu sendiri serta lag dari peubah lain yang ada dalam sistem.
VAR dengan ordo p dan n buah variabel tak bebas pada waktu ke-t dapat dimodelkan sebagai berikut:

Yt = A0 +A1Yt-1 + A2Yt-2+ ApYt-p + εt

Dimana:
Yt = vektor peubah tak bebas (Yt.1 ,Yt.2, Yn.t ) berukuran n x 1
A0 = vektor intersep berukuran nx1
Ai = matrik parameter berukuran n x 1
εt = vektor sisaan (ε1t , ε2t , εnt ) berukuran n x 1

Asumsi yang harus dipenuhi dalam analisis VAR adalah semua variabel tak bebas bersifat stasioner dan semua sisaan bersifat White noise, yaitu memiliki rataan nol, ragam konstan, dan diantara variabel tak bebas tidak ada korelasi. Untuk menentukan kestasioneran data maka terlebih dahulu data akan diuji dengan menggunakan uji Augmanted Dickey Fuller (ADF).

6)Bab IV. Metode Penelitian
Metode penelitian terdiri dari 2 subbab : (1) Jenis dan sumber data dan (2) Metode analisis, adapun metode analisis terbagi lagi menjadi (1) Uji akar Unit (2) Pemilihan Ordo Model Vector Autoregression (3) Uji Kointegrasi (4) Estimasi model Error Correction Model (4) Uji kausalitas (5) fungsi impuls Respon dan (6) Dekompososi Varian. Dengan demikian metode penelitian belum tersusun secara sistematis.

Secara substansi, penulis sudah sangat jelas menyebutkan jenis dan sumber data, penulis sudah mendeskripsikannya dengan tabel, sumber data berasal dari BI, IFS dan BPS danm jenis datanya adalah data sekunder Timeseries dari januari 1993 sampai desember 2004.

Adapun Analisis dilakukan melalui 7 tahap yaitu yang pertama pengujian stasioneritas atau unit root masing-masing variabeal dengan menggunakan ADF setelah itu pemilihan order model VAR (lag optimum) dengan Schmardz Information Criterion, pengujian keterkaitan kointegrasi diantara variabel dalam Xt dengan menggunakan Johansen reduced rank test ,setelah itu dilakukan estimasi secara over identifying cointegrating VAR dengan menggunakan restriksi berdasar apriori teoritis, estimasi vector error correction model (VECM) berdasarkan cointegrating VAR, selanjutnya mencari fungsi respon terhadap shock (Impulse Response Function), dan setelah semua selesai maka dilakukan berbagai shock dalam menjelaskan variabelitas variabel tertentu melalui dekomposisi varian (Forecast Error Variance Decomposition).
Pengolahan data dilakukan menggunakan bantuan perangkat lunak Eviews versi 4.1. artinya penulis sudah cukup jelas menggambarkan metode analisis yang digunakannya.
Dalam tesis pun digambarkan dengan detil pertahap sehingga mempermudah pembaca untuk langsung mengerti maksud metoda tersebut. Uji akar unit untuk melihat kestasioneran data dijelaskan dengan apik. Disana dikatakan dalam analisis timeseries, stasioneritas data menjadi isu terutama terkait dengan permasalahan spurious regression. Jika variabel mengandung akar unit atau tidak stasioner dan berkombinasi dengan variabel lain yang tidak stasioner dan berkombinasi dengan variabel

7)Bab V. Hasil dan Pembahasan
Bab ini menjelaskan pembahasan mengenai serangkaian tahapan pengujian dalam analisis data. Pada tahap pertama dilakukan pengujian terhadap variabel yang digunakan dalam model analisis mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur tingkat suku bunga dan nilai tukar ini. Pengujian awal variabel dilakukan dengan menggunakan uji akar unit (unit root test) menggunakan metode uji Augmented Dickey-Fuller (ADF) dan identifikasi jenis tren. Selanjutnya adalah membuat persamaan VAR yang terdiri dari dua persamaan guna menentukan ordo VAR yang optimal dan dilanjutkan dengan uji kointegrasi menggunakan metode Johansen. Tahap terakhir adalah melakukan estimasi-estimasi yang menyertai metode VAR dan VECM, yaitu uji kausalitas, fungsi respon terhadap shock (IMPuls Response Function/ IRF), dan dekomposisi varian ( forecast Error Variance Decomposition / FEVD).

Pembahasan secara umum sudah sesuai dengan teori ekonomi. Pada pengujian awal, setelah dilakukan plot data oleh penulis, ternyata didapatkan bahwa semua variabel belum stasioner pada level. Terlihat variabel seperti investasi domestik, impor, produk domestik bruto dan indek harga konsumen membwentuk sebuah trend yang positif. Tingkat suku bunga SBI 1 bulan, tingkat bunga deposito dan tingkat bunga investasi terlihat tidak memiliki trend seperti variabel lain.

Berdasarkan hasil uji statistik Augmented Dickey Fuller (ADF) yang mencakup intersep dan trend, dapat dilihat bahwa semua variabel nilai ADF-nya lebih besar dari nilai kritis MacKinnon dengan derajat keyakinan 5 persen, artinya variabel yang diuji mengandung akar unit pada tingkat level tidak dapat ditolak. Oleh karena itu perlu dilakuakan dilanjutkan uji stasioneritas pada drajat difference atau uji derajat integrasi sampai semua variabel yang diamati stasioner pada drajat yang sama. Hasilnya pada taraf first difference variabel-variabel tersebut sudah tidak mengandung masalah akar.

Dalam pembahasan dijabarkan bahwa sebelum melakukan uji kointegrasi, terlebih dahulu dilakukan pemilihan panjang lag. Pemilihan panjang lag penting karena bisa mempengaruhi penerimaan dan penolakan hipotesis nol, yang mengakibatkan bias estimasi. Berdasarkan kriteria Shwarz information criterion menunjukan lag yang optimal adalah persamaan VARdengan ordo 3. Hasil uji ordo VAR pada persamaan jalur nilai tukar juga menunjukan bahwa lag optimal terdapat pada persamaan VAR dengan ordo 3.

Pengujian kointegrasi dilakukan pada lag optimal. yang dilakukan adalah uji kointegrasi Johansen untuk jalur suku bunga, dimana uji ini menunjukkan bahwa terdapat tiga persamaan kointegrasi yang dinyatakan dengan nilai trace statistik yang lebih besar dari angka kritis 5 persen. Sedangkan untuk jalur nilai tukar, hasil uji kointegrasi Johansen menunjukan terdapat dua persamaan kointegrasi yang dinyatakan dengan nilai trace statistik yang lebih dari angka kritis 5 persen. Pengujian stasioner data dan kointegrasi ini juga sangat penting jika dikaitkan dengan alat analisis yang akan digunakan dalam penelitian ini. Setelah diketahui bahwa data tidak stasioner namun berkointegrasi, maka model VAR yang akan digunakan selanjutnya adalah VECM, karena jika data yyang digunakan tidak stasioner dan masih menggunakan VAR, maka estimasi yang dihasilkan memang konsisten tapi bias (tidak efisien).

Setelah melakukan penaksiran model kointegrasi pada sistem permodelan VAR, selanjutnya dilakukan penaksiran model VECM. Berdasarkan hasil penaksiran VECM, dilihat dari goodness of fit dari masing-masing model persamaan terlihat bahwa variabel tingkat suku bunga SBI memiliki nilai R2 yang tertinggi diikuti leh tingkat suku bunga deposito, tingkat inflasi/indek harga konsumen, tingkat investasi dan tingkat bunga investasi . Sedangkan R2 terendah adalah GDP yaitu 0.223.
Berdasarkan hasil penaksiran VECM, dilihat dari goodness of fit dari masing-masing model persamaan terlihat bahwa variabel tingkat suku bunga SBI memiliki nilai R2 yang tertinggi diikuti tingkat suku bunga SBI, impor dan GDP, masing-masing adalah 0.717878, 0.688274, 0.229240 dan 0.188940. sedangkan nilai R2 terendah adalah nilai tukar rupiah yaitu 0.159.

Pembahasan mekanisme transmisi moneter melalui Jalur suku Bunga dan melalui jalur nilai tukar menjelaskan bahwa tingkat output (GDP) dengan nilai tukar memiliki hubungan yang searah. Jika terjadi peningkatan nilai tukar rupiah terhadap dolar sebesar 1 persen akan terjadi peningkatan output sebesar 0.8 persen. Hal ini dikarenakan peningkatan nilai tukar menyebabkan nilai barang domestik menjadi relatif lebih murah dibandingkan dengan barang di luar negeri sehingga barang-barang yang diekspor akan lebih banyak dibandingkan melakukan impor barang (peningkatan net ekspor). Net ekspor merupakan salah satu komponen tingkat output sehingga peningkatan net ekspor akan meningkatkan GDP.

Dalam bab ini pun di sisipkan ringkasan hasil pembahasan yang mempermudah pembaca untuk mengetahui dengan singkat dan jelas terkait hasil penelitian tesis ini.
8)Bab VIII Kesimpulan dan Saran.
Pada kesimpulan dan saran penulis sudah memberikan kesimpulan yang sesuai dengan tujuan dan rumusan masalah. Ada empat poin kesimpulan yang menjawab permasalahan yang tertera di bab pendahuluan dan 3 saran terkait dengan keterbatasan pada penelitian yang menjadi bahan evaluasi penelitian selanjutnya.
Namun ada implikasi kebijakan pada subbab kesimpulan dan saran, seharusnya implikasi kebijakan menjadi Bab tersendiri, mengingat implikasi kebijakan merupakan hal penting dalam hasil suatu analisis sebagai sumbangsih penulis terhadap pemerintah.

9)Daftar Pustaka
Terdapat 49 literatur yang ditulis sebagai sumber referensi penulis dalam daftar pustaka. Literatur yang relatif banyak membantu penulis membahas penelitian secara komprehensif. Daftar pustaka sudah ditulis berdasarkan alfabet. Terdapat beberapa sumber literatur dalam disertasi yang tidak ditulis dalam daftar pustaka. Penulisan daftar pustaka masih tidak sesuai dengan aturan penulisan daftar pustaka disertasi, seperti : judul literatur yang tidak ditulis secara cetak miring, beberapa literatur tidak disertakan kota penerbitnya.
Literatur yang banyak membuat pembaca kebingungan dalam mengidentifikasi, apakah literatur ini berbentuk buku, jurnal ataukah website. Ditemukan dibeberapa tesis atau disertasi penulisnya memisahakan literatur buku dan jurnal/tesis/disertasi, sehingga memudahkan pembacanya.

10)Lampiran
Lampiran terdiri dari 7 lampiran. Lampiran 1 mengenai variable dan data dalam model. Pada lampiran 2 dan 3 ditampilkan blue print uji akar unit. Untuk lampiran 4-7 penuli memaparkan dengan terperinci hasil dari analisis VECM dan hasil dekomposisi pada jalur suku bunga dan jalur nilai tukar.

KESIMPULAN ULASAN TESIS

1.Tesis Ahmad Basith (2007) sudah ditulis secara sitematis, sehingga pembaca dapat dengan mudah memahami alur penelitian.
2.Konsistensi dalam pembahasan dalam tesis sudah dapat dipenuhi dengan baik, tetapi konsistensi dalam penulisan masih terdapat banyak kesalahan.
3.Penulis dapat dengan baik menjabarkan substansi dari penelitian yang dilakukan. Hal ini memberi informasi yang komprehensif terhadap pembaca, meskipun masih terdapat beberapa kekurangan yaitu masih banyak informasi yang tidak disampaikan penulis padahal informasi tersebut sangat berguna bagi pembaca.

SARAN ULASAN TESIS

1.Sistematika penulisan karya ilmiah, dalam hal ini tesis harus sesuai dengan aturan yang berlaku pada institusi yang bersangkutan, seperti yang sudah dilakukan oleh Ahmad Basith (2007).
2.Penulisan tesis harus dilakukan dengan sangat teliti, agar tidak terjadi banyak kesalahan penulisan. Hal ini perlu diperhatikan agar sesuai dengan metode penulisan karya ilmiah dan tidak mengganggu pembaca dalam memahami isi karya ilmiah.
3. Lebih baik jika menyertakan informasi-informasi penting dari fakta dan studi empiris terdahulu dalam memperkuat justifikasi hasil analisis. Hal ini dapat memberikan pengetahuan yang komprehensif dan bermanfaat bagi pembaca.

kanti rahmillah
tugas ulasan ekonometrika (prof Bonar Sinaga)
tesis bisa di down load di http://repository.ipb.ac.id/

KEBIJAKAN AGRARIA, KONSERVASI LAHAN DALAM PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI (PENDEKATAN TEORI TIMBERGEN POLICY ANALYSIS FRAMEWORK)

KAJIAN KERANGKA ANALISIS



PENDAHULUAN

Kebijakan pemerintah merupakan bentuk intervensi atau tindakan yang dilakukan pemerintah terhadap pasar. Kebijakan pemerintah pun keberadaanya mengganggu mekanisme pasar, karena suatu kebijakan diberlakukan ketika pasar dianggap tidak mampu mencapai tujuannya. Oleh karena itu dibutuhkan regulasi perilaku ekonomi yang akan mengontrol pasar. Semua pelaku pasar harus terikat dengan kebijakan pemerintah.

Dalam implementasinya, tentu pemerintah mengalami sejumlah kendala termasuk didalamnya tantangan penegakan hukum yang seadil-adilnya bagi rakyatnya. Karena tujuan kebijakan pemerintah semata-mata untuk kesejahteraan rakyatnya.
Oleh karena itu dibutuhkan sebuah analisis yang mendalam dalam merumuskan sebuah kebijakan. Dalam tulisan ini akan dibahas bagamana kerangka proses berfikir sebuah kebijakan pemerintah tercipta. Dengan menggunakan teori Tinbergen Policy “Analysis Frame Work policy “ yang memiliki tujuan utama mencapai sosial welfare, akan didapatkan suatu analisis yang akan menghantarkan pada terciptanya sebuah kebijakan. Dalam mencapai tujuannya, maka harus dianalisis apa yang menjadi variabel endogenous nya, maka sesuai teori tinbergen variabel endogenus dalam analisis ini adalah objectives atau tujuan. Sehingga dari sana akan membutuhkan analisis lainnya sebagai variabel exogenous.

Variabel exsogenous ini terdiri dari policy instruments (instrumen kebijakan) yang akan berhadapan dengan constraints (kendala) dalam implementasinya, dan bukan hanya kendala yang dihadapi namun faktor faktor diluar kendali manusia (beyond control) pun menjadi hal yang harus diperhatikan dalam proses berfikir ini karena kendala dan faktor-faktor diluar kendali manusia akan mempengaruhi tujuan. 3 variabel exogenous diatas bukan hanya akan mempengaruhi tujuan namun lebih jauh akan menciptakan side effect (efek samping). Namun jika dianalisis dengan mendalam dan pengkajian fakta yang akurat, akan menghasilkan tujuan jangka panjang yaitu sosial welfare (kesejahteraan sosial).

Kebijakan yang dijadikan rujukan dalam tulisan ini adalah Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi lahan yang merupakan bagian dari kebijakan agraria. Adapun isi dan penjelasan UU no 5 terlampir.

UNDANG (UU) NOMOR 5 TAHUN 1990

Sumberdaya lahan adalah merupakan salah satu kebutuhan pokok kehidupan manusia dan merupakan salah satu modal dasar pembangunan pertanian. Sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk yang terus meningkat, kebutuhan akan lahan untuk berbagai penggunaan seperti pemukiman, industri, pariwisata, transportasi, pertanian dll terus meningkat. Sementara itu secara absolut jumlah lahan yang tersedia relatif tetap. Kondisi yang mengarah ke kelaparan lahan akibat ketidak seimbangan antara jumlah penduduk dan ketersediaan lahan ini, telah mengakibatkan terjadinya konversi lahan pertanian, penyerobotan tanah negara, perambahan hutan, dan pengusahaan lahan kering perbukitan/ lahan berlereng yang seringkali tidak sesuai dengan kemampuan daya dukungnya dll.

Pengusahaan lahan perbukitan/lahan berlereng padat penduduk untuk tujuan pertanian tersebut pada umumnya kurang mengindahkan aspek lingkungan dan lebih mengutamakan hasil/keuntungan finansial sesaat. Para petani pada umumnya kurang menerapkan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air. Ditambah dengan lemahnya pembinaan petugas (penyuluhan) dan kurangnya pengetahuan petani, praktek usahatani tersebut telah merubah lahan potensial kritis menjadi lahan-lahan kritis baru. Akibat kurangnya upaya rehabilitasi pada lahan kritis dan upaya konservasi pada lahan potensial kritis, jumlah lahan kritis tersebut tidak pernah menurun dan terus bertambah dari waktu ke waktu.

Data tahun 1992 menunjukkan bahwa luas lahan usahatani kritis di luar kawasan hutan telah mencapai sekitar 18 juta hektar. Setelah hampir 13 tahun, lahan kritis diluar kawasan hutan pada tahun 2005 sekarang ini telah mencapai hampir 25 juta hektar. Terjadinya lahan-lahan kritis yang pada dasarnya berada di wilayah DAS (Daerah Aliran Sungai) tidak saja menyebabkan menurunnya produktivitas tanah ditempat terjadinya lahan kritis itu sendiri, tetapi juga menyebabkan rusaknya fungsi lahan dalam menahan, menyimpan dan meresapkan air hujan. Kondisi ini sangat penting dilakukan berbagai upaya pengendalian dalam menjaga kesuburan dan kelayakan lahan dalam mempertahankan produktivitasnya. Lebih detail lagi mengenai kondisi ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Apabila terjadi penurunan produktivitas lahan-lahan kritis tersebut mengakibatkan hasil tanaman terus menurun sehingga tidak mampu lagi mendukung kehidupan ekonomi keluarga sehingga tercipta keluargakeluarga miskin baru. Oleh karena itu kawasan lahan kritis selalu dicirikan oleh produktivitas lahan yang rendah, jumlah penduduk yang tinggi, pendapatan petani yang rendah, potensi erosi yang tinggi, terkonsentrasinya kantong kemiskinan dan kerawanan gizi bahkan akan berkurangnya persediaan pangan yang mengakibatkan terjadinya kekurangan dalam penyediaan kebutuhan pangan.


KERANGKA ANALISIS KEBIJAKAN
(TIMBERGEN POLICY ANALYSIS FRAMEWORK)

OBJECTIVE (TUJUAN)
Terdapat dua macam tujuan dalam merumuskan kebijakan; yang pertama adalah tujuan kebijakan tersebut efisiensi, dan dikatakan efisien apabila dengan sumber daya tertentu dapat diperoleh hasil yang maksimum, sering kita sebut tujuan pencapaiannya adalah pertumbuhan ekonomi. Dan tujuan ini pada dasarnya objektiv.

Adapun yang kedua adalah tujuan equiti yaitu bagaimana agar output yang dihasilkan dalam perekonomian dibagikan diantara individu / kelompok individu tersebut, sering kita sebut tujuan pencapaiannya adalah income distribution. Dan tujuan equiti ini bersifat subjektif.

CONSTRAINS (KENDALA)

Dalam menganalisis kendala yang dihadapi, maka kendala terbagi menjadi 2 klasifikasi:
1.Kendala spesifik  instrumen yang digunakan langsung mengarah pada perubahan teknis,
2.Kendala umum membuat instrumen yang dapat menyelesaikan kendala tersebut

Adapun sifat constrain :
1.Kendala relatif  misal keterbatasan anggaran  membuat instrumen kebijakan untuk mengatasinya
2.Kendala absolut  misal iklim  bagaimana antisipasi kebijakan untuk menghindar

FACTORS BEYOND CONTROL (FAKTOR DILUAR KENDALI)

Faktor diluar kendali ini merupakan faktor-faktor diluar kendali manusia. Dan keberadaanya hanya bisa dilakukan pencarian strategi untuk menghindar dari faktor-faktor tersebut.

INSTRUMEN KEBIJAKAN

Dalam memilih instrumen kebijakan, 5 hal yang harus diperhatikan adalah:
1.apakah cocokk untuk mencapai efisiensi / equity?
2.apakah diberlakukan ditingkat petani ataukah di tingkat saluran pemasaran (seperti pengecer, pedagang)?
3.apakah instrumen ini adalah instrumen harga / instrumen institusi / instrumen teknologi
4.apakah diterapkan untuk komoditas spesifik atukah berlaku secara umum
5.apakah merupakan kebijakan pasar komoditas ataukah kebijakan perdagangan atau bahkan kebijakan makroekonomi

SIDE EFFECT

Side efek adalah efek samping yang disebabkan oleh adanya kendala dan faktor di luar kendali sebagai tantangan bagi sebuah perumusan instrumen kebijakan. Dan efek samping ini biasanya terjadi bersamaan dengan tercapainya tujuan yaitu kesejahteraan masyarkat.

KERANGKA ANALISIS
KEBIJAKAN AGRARIA, KONSERVASI LAHAN DALAM PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI

OBJECTIVES (TUJUAN)

Adapun konservasi lahan mempunyai tujuan utama yaitu meningkatkan pendapatan petani dalam hal ini efisieni (pertumbuhan ekonomi). Ulasan singkatnya sebagai berikut:

Konservasi lahan merupakan upaya penempatan setiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah. Selanjutnya, konservasi lahan juga dapat didefinisikan sebagai usaha pemanfaatan lahan dalam usahatani dengan memperhatikan kemampuannya dan dengan menerapkan kaidah-kaidah konservasi tanah (air) agar lahan dapat digunakan secara lestari.

Usahatani konservasi (conservation farming) pada lahan (kering) sering dilakukan dalam penerapan paket teknologi yang ditujukan untuk melestarikan lingkungan sekaligus berfungsi meningkatkan produksi (pertanian) sehingga memberikan manfaat terhadap pendapatan petani. Di samping itu, teknologi konservasi tanah berupa komponen teknologi yang tidak dapat ditinggalkan, sebab lahan sebagai fungsi produksi harus dipertahankan kelestarian kesuburannya agar produksi tidak menurun dari waktu ke waktu sehingga akan mempengaruhi terhadap ‘produktivitas pertanian’.

Tujuan teknis konservasi lahan adalah dilakukan dalam upaya untuk:
1.Mencegah kerusakan tanah oleh erosi dan aliran permukaan sekaligus memelihara sumber air dan kelestarian fungsinya
2.Memperbaiki tanah rusak atau kritis
3.Memulihkan dan mempertahankan kesuburan tanah
4.Mengamankan dan memelihara produktivitas tanah agar tercapai produksi yang setinggitingginya dalam waktu yang tidak terbatas (lestari)
5.Mempertahankan kemampuan daya dukung lahan dan lingkungannya dalam fungsi lingkungan hidup
6.Meningkatkan produktivitas lahan usahatani sehingga menunjang peningkatan produksi dan pendapatan petani

CONSTRAIN (KENDALA)

1.Perkembangan Luas Penggunaan Lahan
Perkembangan penggunaan luas lahan sawah di Indonesia untuk pertanian tanaman pangan, secara umum berada di Pulau Jawa dibandingkan dengan Pulau lainnya. Demikian halnya dengan penggunaan lahan bukan sawah, terutama lahan perkebunan banyak terdapat di Pulau Sumatera. Kondisi ini memberikan penjelasan bahwa potensi sumberdaya lahan untuk pertanian paling dominan terdapat di Jawa sehingga perlu untuk penmanfaatan secara optimal.

Namun pada gilirannya, sesuai dengan perkembangannya, di Pulau Jawa secara umum paling tinggi jumlahnya demikian halnya juga terjadi banyak alih fungsi lahan dari pertanian ke non pertanian. Apalagi Pulau Jawa sebagai penghasil komoditi pangan terbesar di Indonesia. Selain itu, banyaknya lahan yang tidak subur dan terjaga kelayakan penggunaan untuk pertanian semakin berkurang. Di tambah lagi dengan banyaknya lahan pertanian yang subur di Pulau Jawa untuk tanaman pangan yang rusak akibat kurangya pemeliharaan kesuburan tanah melalui program konservasi lahan untuk menjaga sutainabiliti lahan tersebut.

2.Degradasi Multi-Fungsi Pertanian

Multifungsi pertanian di Indonesia saat ini sedang mengalami degradasi, sejalan dengan menurunnya kualitas dan kuantitas lahan pertanian. Proses degradasi multifungsi lahan yang paling signifikan adalah konversi lahan pertanian, karena proses ini menghilangkan semua fungsi pertanian bersamaan dengan beralihnya fungsi lahan pertanian itu sendiri. Proses degradasi lain yang banyak terjadi adalah erosi dan longsor, pencemaran, dan kebakaran hutan atau lahan. Konversi Lahan Pertanian Proses konversi lahan saat ini berlangsung tidak terkendali, terutama terhadap lahan sawah irigasi di Jawa dan sekitar kota-kota besar di luar Jawa.

Konversi lahan akan terus berlangsung sebagai dampak berbagai pembangunan yang memerlukan lahan seperti sektor industri, transportasi, pendidikan, dan permukiman. Winoto (2005) menyatakan
bahwa ancaman konversi lahan sawah ke depan sangat besar, yang mengancam
sekitar 42,40% luas sawah beririgasi di Indonesia, seperti tergambarkan dalam
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Pemerintah Kabupaten.

Salah satu penyebabnya adalah adanya kepentingan Pemerintah Daerah untuk mengumpulkan dana melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang diupayakan antara lain dengan cara meningkatkan nilai ekonomi lahan pertanian.

Erosi Tanah dan Pencemaran Kimiawi Erosi tanah oleh air telah terjadi sejak lama dan masih terus berlanjut sampai saat ini. Beberapa data yang mendukung pernyataan ini dapat dikemukakan, antara lain: 1) sedimentasi di DAS Cilutung (Jawa Barat) meningkat dari 0,90 mm/ tahun pada 1911/12 menjadi 1,90 mm/ tahun pada 1934/35, dan naik lagi menjadi 5 mm/tahun pada 1970-an (Soemarwoto, 1974), 2) laju erosi di DAS Cimanuk (Jawa Barat) mencapai 5,20 mm/tahun, mencakup areal 332 ribu ha (Partosedono 1977), 3) pada tanah Ultisols di Citayam (Jawa Barat) yang berlereng 14% dan ditanami tanaman pangan semusim, laju erosinya mencapai 25 mm/tahun (Suwardjo 1981), 4) di Putat (Jawa Tengah) laju erosi mencapai 15 mm/tahun, dan di Punung (Jawa Timur) sekitar 14 mm/tahun; keduanya pada tanah Alfisols berlereng 9?10% yang ditanami tanaman pangan semusim (Abdurachman et al. 1985), dan 5) di Pekalongan, Lampung, laju erosi tanah mencapai 3 mm/tahun pada tanah
Ultisols berlereng 3,50% yang ditanami tanaman pangan semusim; dan pada
tanah Ultisols di Baturaja berlereng 14%, laju erosinya mencapai 4,60 mm/tahun
(Abdurachman et al. 1985).

Berdasarkan kondisi tersebut, maka berbagai kegiatan konservasi lahan dilakukan, mulai rehabilitasi lahan, penyuburan dan fertilisasi lahan melalui reklamasi lahan dengan menggunakan kimiawi dengan pemakaian pupuk organik maupun anorganik. Adapun kegiatan reklamasi lahan sawah berkadar bahan organik rendah diperlukan sebagai upaya untuk meningkatkan kandungan bahan organik tanah sawah, dalam rangka perbaikan kesuburan lahan sebagai sarana pendukung peningkatan produksi tanaman pangan.

Adapun masalah sosial sering menghambat upaya konservasi lahan pertanian, seperti kepemilikan dan hak atas lahan, fragmentasi lahan pertanian, sempitnya lahan garapan petani, dan tekanan penduduk. Selain itu, ada permasalahan yang melekat pada petani sendiri, misalnya keengganan berpindah dari lahan yang tidak sesuai untuk pertanian seperti DAS bagian hulu, atau mengganti komoditas pertanian dari tanaman semusim menjadi tanaman tahunan. Hambatan ekonomis terkait dengan kondisi petani, yang pada umumnya tergolong petani kecil atau petani gurem yang tidak memiliki modal kerja cukup, sehingga komponen konservasi lahan terabaikan. Mereka sangat membutuhkan hasil langsung yang dapat diperoleh segera untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya.
Selanjutnya, dalam penerapan tindakan konservasi lahan yang sangat memerlukan biaya tinggi, sedangkan hasilnya baru dapat terlihat dalam jangka panjang. Dalam masalah konversi atau alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian, banyak petani menjual lahan pertaniannya karena membutuhkan dana untuk keperluan hidup keluarga, walaupun terpaksa kehilangan atau berkurang mata pencahariannya. Dalam al kebakaran hutan, masalah ekonomi yang menonjol adalah memilih cara penyiapan lahan untuk perkebunan yang biayanya murah. Namun, alasan tidak disiplin dan mau mudahnya saja lebih dominan dibanding alasan ekonomi.

FAKTOR DILUAR KENDALI

Pemanasan global telah menyebabkan perubahan iklim yang berdampak pada meningkatnya tekanan lingkungan dalam bentuk iregularitas ketersediaan air karena kekeringan dan banjir; degradasi lahan oleh erosi dan pengikisan bahan organik dan mineral tanah; perubahan praktik-praktik pertanian seperti pola tanam, ancaman terhadap kesinambungan produktifitas tanaman, baik itu yang menyangkut kuantitas maupun kualitas, serta perubahan dalam diversifikasi tanaman. Hal tersebut tidak bisa kita cegah, tetapi hanya bisa berstrategi dalam menghindarinya


INSTRUMENT KEBIJAKAN

Dalam rangka mengatasi pencemaran tanah oleh agrokimia, pemerintah telah memberlakukan berbagai peraturan, antara lain: 1) Permentan No. 7/1973 tentang peredaran, penyimpanan, dan penggunaan pestisida, 2) Kepmentan No. 280/1973, tentang pendaftaran, aplikasi dan lisensi pestisida, 3) Kepmentan No 429/1973, tentang pembatasan pestisida, 4) Kepmentan No. 536/1985 tentang pengawasan pestisida, dan 5) UU No. 12/1992 tentang budi daya tanaman. Namun demikian, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa penggunaan bahan-bahan agrokimia terus meningkat dari tahun ke tahun (Badan Pengendali Bimas 1990; Soeyitno dan Ardiwinata 1999). Peraturan-peraturan yang berlaku tidak mampu mengendalikan impor dan penggunaan bahan-bahan agrokimia, antara lain karena penegakan hukumnya belum dilaksanakan dengan baik, dan perdagangan bahanbahan agrokimia menyangkut nilai ekonomi yang besar.

Lahan pertanian juga perlu dilindungi terhadap pencemaran oleh limbah industri, seperti industri tekstil, kertas, baterai, dan cat, dengan cara pengaturan
pembuangan limbah. Teknologi pengelolaan limbah sudah tersedia, antara lain
berupa pembuatan instalasi pengolahan limbah untuk berbagai jenis limbah industri.

Lebih jauh dari itu, sudah ditetapkan juga baku mutu limbah untuk berbagai unsurpencemar (Ramadhi 2002), dan beberapa peraturan daerah tentang pengendalian pencemaran tanah dan air. Namun demikian, upaya-upaya tersebut belummampu mengendalikan proses pencemaran tanah pertanian.

Pengendalian daerah tangkapan hujan dan konversi lahan. Upaya perlindunganlahan pertanian yang mendesak untuk segera ditangani adalah: 1) pengendalian degradasi daerah tangkapan hujan (water catchment area), dan 2) pengendalian konversi lahan pertanian. Kedua macam degradasi lahan tersebut masih terus berlangsung dan menimbulkan hambatan besar bagi pembangunan sektor pertanian, pertanian nasional, di samping kerugian besar bagi keluarga tani danmasyarakat serta pemerintah daerah.

Salah satu strategi operasional, dengan tujuan utama untuk mengendalikan konversi lahan pertanian. Penetapan lahan sawah irigasi abadi seluas 15 juta ha harus dilaksanakan secara bertahap, karena sekarang ini luas sawah baku di Indonesia hanya sekitar 7,78 juta ha (BPS 2003), dengan kualitas bervariasi dari sawah irigasi teknis sampai sawah tadah hujan. Abdurachman et al. (2005) mengemukakan kriteria biofisik penetapan lahan sawah abadi atau sawah utama dengan menggunakan tiga parameter, yaitu: status irigasi, intensitas pertanaman (IP), dan tingkat produktivitas. Berdasarkan kriteria tersebut, maka luas sawah yang layak dijadikan lahan sawah abadi hanya sekitar 30 juta ha di Jawa, Bali, dan Lombok (Abdurachman et al. 2004). Lahan-lahan sawah di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan pulau-pulau lainnya belum selesai dievaluasi seluruhnya. Namun demikian, jelas masih jauh untuk mendapatkan luasan 15 juta ha sawah abadi, karena pencetakan sawah baru memerlukan biaya tinggi dan waktu lama.

PENUTUP

Berdasarkan studi ini dapat didapatkan bahwa lahan merupakan faktor produksi yang utama dan tidak dapat digantikan fungsinya dalam usaha pertanian. Ketersediaan lahan untuk usahatani merupakan syarat keharusan untuk mewujudkan peran sektor pertanian secara berkelanjutan, terutama dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional, sehingga lahan pertanian semakin berkurang karena terjadi konversi ke non-pertanian dan pada akhirnya mengalami berbagai degradasi (kerusakan lahan).
Satu sisi, program konservasi merupakan respon dari adanya kerusakan lahan produktif pertanian tersbeut baik dilihat dari segi kesuburan maupun dari sisi sustainabilitasnya, sehingga akan mempengaruhi terhadap usaha pertaniannya dan pendapatan petani. Di sisi lain, kondisi petani di pedasaan dalm kondisi sulitnya akses kepada lahan dan modal menimbulkan pendapatan yang tidak memadai hingga menyebabkan kemiskinan.

Pemerintah hendaknya dengan segera melakukan percepatan pelaksanaan program reformasi agraria, dimana kebijakan Pemerintah yang selalu pro-poor ‘miskin aset’.
1.Memberikan kemudahan berbagai akses kepada petani melalui berbagai subsidi program baik akses modal, akses pasar maupun akses kepemilikan lahan.
2.Pemerintah hendaknya mengurangi pembiayaan dalam sertifikasi ‘birokrasi’ sehingga akan memudahkan dan memurahkan biaya akses petani ke berbagai kebutuhan dalam meningkatkan pendapatannya. Oleh karena itu, program RA harus segera dilaksanakan. Kebijakan pemberian kemudahan dan murahnya sertipikasi tanah bagi rakyat miskin maka akan memudahkan dalam kebijakan pembangunan wilayah berbasis pertanian.
3.Formalisasi property right akan timbul pengakuan politik atas penguasaan sosial hak atas tanah sehingga akan tumbuh kesadaran petani dalam pengembangan usahanya dalam meningkatkan pendapatannya.
4.Hendaknya pemerintah dalam menetapkan kebijakan land sutainability jelas dan tegas secara eksplisit sehingga pengendalian dalam memperbaiki kerusakan lahan seperti menghindari erosi, degradasi dan ‘climate change’ akan lebih mudah dan terencana dalam produksi (produktivitas) sehingga expectable income petani pun akan lebih dapat diperhitungkan.
5.Mengembangkan dan mengadopsi teknologi pertanian (pupuk, bibit, mesin) yang tepat dan ramah lingkungan dimana sustainabilitas kesuburan tanah akan lebih terjaga dan produksi pun dalam jangka panjang akan semakin lebih baik.
6.Penumbuhan kesadaran petani akan hak-hak petani melalui pembinaan petani dalam peningkatan usaha pertanian dan menjaga kesuburan lahan dilakukan secara yang sinergi dan berkelanjutan.
7.Meningkatkan peran serta dan partisipasi aktif di level petani yang harus terus didorong agar supaya termotivasi baik melalui penyuluhan, pendidikan dan pelatihan sebagai upaya menjaga sustainabilitas dari sisi lahan dan dari sisi bisnis (pendapatan ’gain’).

kanti rahmillah
tugas kebijakan pertanian (dr Haryanto)

Selasa, 19 Juli 2011

KEBIJAKAN PENYESUAIAN STRUKTURAL SEBAGAI RESPON LIBERALISASI PERDAGANGAN SEKTOR PERTANIAN
(Pengaruh Washington Consensus terhadap perekonomian Indonesia pasca krisis 1997)

PENDAHULUAN

Pasca 1930, saat perekonomian dunia terjerumus ke dalam depresi besar-besaran, kepercayaan terhadap paham ekonomi pasar liberal merosot secara drastis. Ternyata mekanisme pasar tidak mampu mengurus dirinya sendiri, bahkan dapat menjadi sumber malapetaka bagi kemanusiaan. Teori Keynes ini menjadi sorotan tajam, menyadari kelemahan ekonomi pasar liberal tersebut, pada September 1932, sejumlah ekonom Jerman yang dimotori oleh Rustow dan Eucken mengusulkan dilakukannya perbaikan terhadap paham ekonomi pasar, yaitu dengan memperkuat peranan negara sebagai pembuat peraturan. Dari sini cikal bakal neoliberalisme muncul.

Menyusul terjadinya krisis moneter secara luas di negara-negara Amerika Latin. Departemen Keuangan AS bekerja sama dengan Dana Moneter Internasional (IMF), merumuskan sebuah paket kebijakan ekonomi neoliberal yang dikenal sebagai paket kebijakan Konsensus Washington. Inti paket kebijakan Konsensus Washington yang menjadi menu dasar program penyesuaian struktural IMF tersebut adalah sebagai berikut: (1) pelaksanaan kebijakan anggaran ketat, termasuk kebijakan penghapusan subsidi; (2) liberalisasi sektor keuangan; (3) liberalisasi perdagangan; dan (4) pelaksanaan privatisasi BUMN.

Di Indonesia, pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal secara masif berlangsung setelah perekonomian Indonesia dilanda krisis moneter pada 1997/1998 lalu. Secara terinci hal itu dapat disimak dalam berbagai nota kesepahaman yang ditandatatangani pemerintah bersama IMF. Setelah berakhirnya keterlibatan langsung IMF pada 2006 lalu, pelaksanaan agenda-agenda tersebut selanjutnya dikawal oleh Bank Dunia, ADB dan USAID.

Tulisan ini akan mengulas bagaimana terjadinya penyesuaian struktural sebagai respon dari paket kebijakan konsesus washington yang intinya membahas liberalisasi, privatisasi dan deregulasi pada perekonomian dunia, termasuk di dalamnya perekonomian Indonesia. Dalam tulisan inipun akan dibahas proses pengawalan dalam penyesuaian struktural yang melibatkan IMF, yang seterusnya dilanjutkan oleh bank dunia serta kondisi perekonomian Indonesia pasca krisis 1997.

WASHINGTON CONSESUS

Penerapan agenda-agenda ekonomi neoliberal secara mencolok dimotori oleh Inggris melalui pelaksanaan privatisasi seluruh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mereka. Penyebarluasan agenda-agenda ekonomi neoliberal ke seluruh penjuru dunia, menemukan momentum setelah dialaminya krisis moneter oleh beberapa Negara Amerika Latin pada penghujung 1980-an. Sebagaimana dikemukakan Stiglitz, dalam rangka menanggulangi krisis moneter yang dialami oleh beberapa negara Amerika Latin, bekerja sama dengan Departemen keuangan AS dan Bank Dunia, IMF sepakat meluncurkan sebuah paket kebijakan ekonomi yang dikenal sebagai paket kebijakan Konsensus Washington.

Secara singkat, isi Konsensus Washington—yang sering juga disebut sebagai pendekatan Neoliberal adalah (Williamson 1994:26-7; Burki dan Perry 1998:7, serta Lynn 2003:63-4). Pertama, disiplin fiskal. Pemerintah diminta menjaga agar anggarannya mengalami surplus. Kalaupun terpaksa defisit, tidak boleh melampaui dua persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Kedua, memberikan prioritas kepada belanja sektor publik, terutama di sektor pendidikan dan kesehatan, sebagai upaya memperbaiki distribusi pendapatan.

Ketiga, memperluas basis pemungutan pajak agar dapat dibangun struktur penerimaan anggaran yang sehat. Keempat, liberalisasi finansial. Suku bunga harus dijaga positif secara riil (lebih tinggi daripada laju inflasi) dan hindari kebijakan suku bunga yang mengistimewakan debitor tertentu (preferential interest rates for favored borrowers). Kelima, kurs mata uang harus diusahakan kompetitif (tidak terlalu kuat), tetapi kredibel (tidak terlalu lemah).

Keenam, mendorong liberalisasi perdagangan melalui upaya menghapus restriksi kuantitatif (hambatan perdagangan, seperti pengenaan tarif, kuota, dan larangan-larangan lainnya). Ketujuh, menerapkan kesamaan perlakuan antara investasi asing dan investasi domestik sebagai insentif untuk menarik sebanyak mungkin investasi asing langsung.
Kedelapan, untuk mendorong kinerja badan usaha milik negara (BUMN), seyogianya dilakukan privatisasi (penjualan saham ke sektor privat). Kesembilan, pasar harus didorong agar lebih kompetitif melalui serangkaian kebijakan deregulasi dan menghilangkan hambatan atau restriksi bagi para pelaku ekonomi baru. Kesepuluh, harus ada perlindungan terhadap property rights, baik di sektor formal maupun sektor informal.

Namun jika ditelaah, konsensus ini dapat dirangkum menjadi 3 pilar:
(1) Deregulasi/ disiplin anggaran pemerintah (fiscal austerity atau fiscal disipline),
(2) liberalisasi pasar (market liberalization), dan
(3) privatisasi BUMN (Stiglitz 2002:53).

WORLD BANK

Merujuk pada tulisan Richard Peet berjudul “World Bank”, pendirian Bank Dunia mempunyai sebuah misi utama yakni menciptakan dunia tanpa kemiskinan di dalamnya, sebagaimana dikutip dalam sebuah kalimat “our dream is a world without poverty”. Lebih lanjut, sejumlah tujuan lain di balik pendirian Bank Dunia terangkum dalam pasal 1 kesepakatan Bretton Woods, yakni: (1) untuk membantu rekonstruksi dan perkembangan teritori negara anggota dengan memfasilitasi investasi modal untuk tujuan produktif, meliputi restorasi perekonomian yang kacau akibat perang sekaligus memfasilitasi proses development di negara-negara yang kurang berkembang; (2) untuk mendorong masuknya investasi swasta asing (private foreign investment) sebagai pemberi jaminan atau pinjaman di Bank Dunia, dan sebaliknya ketika pihak swasta kesulitan menyediakan dana investasi maka Bank Dunia akan berusaha menciptakan kondisi yang sesuai bagi produktivitas modal mereka; (3) untuk mendorong terciptanya keseimbangan pertumbuhan perdagangan internasional dan keseimbangan neraca pembayaran (balance of payments); (4) untuk mengatur jumlah pinjaman yang tersedia sehingga dapat mencegah munculnya pinjaman-pinjaman dari pihak lain¾selain Bank Dunia; (5) untuk menciptakan transisi ekonomi yang lebih “smooth” dari perekonomian era perang menuju perekonomian era post-war.

KEBIJAKAN EKONOMI INDONESIA PASCA KRISIS 1997

Pasca krisis 1997, arah ekonomi indonesia mengalami perubahan yang signifikan. Merujuk pada LoI yang disepakati dalam konsesus washington yang intinya menekankan pada pasar bebas dengan implementasi liberalisasi, privatisasi dan deregulasi.
Kebijakan Perdagangan (Impor Komoditi Pertanian)

Kebijakan pemerintah dalam mengimpor pangan dicatat dalam beberapa fakta. Tahun tahun 2007 terjadi kenaikan impor beras menjadi 1.5 juta ton, dari 840 ribu ton tahun 2006 (atau naik sebesar 78.5 persen). Komoditi kedelai, tahun 2007 mengimpor 1.5 juta ton. Untuk memudahkan impor beras diujung tahun 2007 pemerintah melalui Menteri Keuangan menetapkan penurunan tarif bea masuk atas impor beras sebesar Rp. 100,-. Dari Rp. 550,-.menjadi Rp. 450.

Perluasan akses pasar atas komoditas pertanian menyebabkan Indonesia menjadi negara pengimpor pangan terbesar di dunia. Data tahun 2004, Indonesia menjadi pengimpor beras terbesar di dunia dengan total per tahun 3,7 juta ton, kemudian gandum 4,5 juta ton, gula 1,6 juta ton, kedelai 1,3 juta ton, jagung 1,2 juta ton, tepung telur 30.000 ton, ternak sapi 450.000 ekor, susu bubuk 170.000 ton, garam 1,5 juta ton, singkong 850.000 ton, dan kacang tanah 100.000 ton.

Selain pengimpor pangan, Indonesia juga menjadi pengimpor benih tanaman pertanian. Berdasarkan data Dirjen Hortikultura, tahun 2005, impor benih sayur-sayuran dari Selandia Baru, Australia, Jepang, Thailand, dan Malaysia sebesar 2,2 ribu ton. Impor benih sayuran terbesar tahun 2005, jenis umbi seperti kentang (2.129 ton), disusul sayuran grain seperti kubis (11,3 ton), sawi (10 ton), kangkung (9,7 ton), buncis (3,3 ton), wortel (3,04 ton), tomat (1,6 ton), mentimun (2,8 ton), dan selebihnya adalah bawang merah, cabe, dan kacang panjang. Tahun 2006 pemerintah mencoba menekan impor benih sayur-sayuran hingga 1.707 ton. Namun hal itu sulit dilakukan, karena belum ada kebijakan baru yang bisa menggerakkkan industri benih lokal. Tahun 2005, impor lain, bibit tanaman hias seperti anggrek, gladiol, krisan, mawar, melati dan sedap malam sebesar 5.322 ton. Atau 35,68 persen total kebutuhan bibit tanaman hias sebanyak 14.918 ton.

Upaya pemeriintah menekan impor benih tanaman hias hingga 3.170 ton tahun 2006 juga sulit dilakukan.Situasi ini menggambarkan perubahan posisi Indonesia dalam percaturan perdagangan pangan Internasional. Dari negara yang berstatus swasembada menjadi negara yang terbelit dalam dilema impor (net importer). Ketika beras impor telah membanjiri sentra produksi padi di Indonesia, maka ancaman berantai terhadap ketahanan pangan pun semakin serius.

Tentunya hal tersebut tidak terlepas dari perdagangan pertanian yang diatur oleh WTO (World Trade Organization). Sudah lama kaum tani di Indonesia kesusahan akibat liberalisasi perdagangan (penghapusan subsidi domestik nasional, penghapusan pajak ekspor, penghapusan tarif masuk) ala WTO.

Dominasi Perusahaan Multinasional Masuknya perusahaan multinasional, melalui perjanjian internasional yang disponsori oleh lembaga internasional seperti WTO, IMF/Bank Dunia dan PBB (FAO) yang bergerak pada bidang pertanian semakin memperlemah posisi petani lokal. Perusahaan multinasional misalnya Cargill, Charoen Pokphand, Monsanto, Coca Cola, Philip Morris, Del Monte, Nestle, Unilever, Kellog, Heinz, dsb, ini bergerak pada hampir semua sektor agroindustri.

Perdagangan gandum dunia sekitar 80 persen didistribusikan oleh hanya dua perusahaan saja, yaitu Cargill dan Archer Daniels Midland. Sebanyak 75 persen pangsa pasar perdagangan pisang dunia, hanya dikuasai oleh lima perusahaan saja, Del Monte, Dole Food, Chiquita, Fyffes, dan Noboa. Tiga perusahaan menguasai 83 persen perdagangan kakao atau coklat. Demikian juga 85 persen perdagangan teh.
Sedangkan perdagangan tembakau, sekitar tak kurang dari 70 persen produksi dikendalikan oleh Philips Morris, BAT-Rothmants, RJR Nabisco dan Japan Tobacco. Philip Morris International, yang berpusat Lausanne, Switzerland, merupakan perusahaan terbesar tembakau.

Philip Morris memiliki 50 pabrik dan lebih dari 160 pasar di seluruh dunia. Tahun 2005, Philip Moris berhasil menguasai 97 persen saham perusahaan rokok terbesar ketiga Indonesia, PT.H.M Sampoerna yang kini mengembangkan anak perusahaan di bidang pertanian, yakni PT Sampoerna Agro.

Tiga ratus perusahaan multinasional atau perusahaan transnasional yang didukung oleh kapitalisme pasar bebas, saat ini menguasai 25 persen aset dunia. Nilai penjualan per tahun dari perusahaan-perusahaan itu bervariasi antara 111 milyar dollar setara Rp 1.110 tilyun hingga 126 milyar dollar setara Rp 1.260 trilyun per tahun, dengan asumsi kurs 1 dollar sama dengan Rp 10 ribu. Disatu sisi lain, saat ini hanya ada 21 negara yang mempunyai Gross Development Product (GDP) melebihi jumlah tersebut. Sekitar 50 persen dari total pendapatan Coca Cola, Toyota, Ford, diperoleh dari penjualan diluar Amerika, sementara itu 40 persen dari volume perdagangan dunia merupakan transaksi antar perusahaan multinasional.

Menurut data FAO, tahun 1990, 93 persen air di Indonesia diperuntukan pertanian, enam persen konsumsi penduduk, satu persen kepentingan industri. Sedangkan tahun 2002 porsi peruntukkannya berubah. Untuk kepentingan irigasi pertanian telah menyusut menjadi 70 persen. PDAM di berbagai daerah telah terprivatisasi dan jatuh ke tangan perusahaan seperti Cascal BV, Thames, Vivendi, WMD dan beberapa perusahaan lain yang siap-siap merangsek menguasai PDAM di seluruh Indonesia.

di bidang industri pangan, MNC sering dianggap sebagai “dewa penyelamat” karena mampu menghasilkan makanan murah dengan kualitas tinggi. Tetapi, siapa sebenarnya yang menikmatinya? Yang pasti bukan rakyat dari negara yang sedang berkembang! Masuknya MNC industri pangan ke Dunia Ketiga ini selalu dikampanyekan sebagai berkat, karena mereka mempunyai modal dan teknologi. Produksi pangan dapat ditingkatkan lewat bioteknologi sehingga dunia tidak akan mengalami kelaparan. Namun, yang terjadi adalah kebalikannya.

Sekitar seratus perusahaan multinasional yang berkonsentrasi dalam bidang usaha jual beli benih atau pestisida atau pupuk kimia atau produk pertanian atau pangan, mengendalikan dan menguasai lebih dari 70 persen perdagangan pertanian dunia. Monsanto atau Syentega atau Astra Seneca atau Novartis atau Cargill telah menguasai hampir 75 persen pasar global pestisida, menguasai 100 persen pasar global bibit transgenik dan sekitar 25 persen penjualan bibit termasuk juga bisnis lisensi dan royalti patennya.

Salah satu raksasa korporasi hayati, Novartis misalnya. Korporasi raksasa hasil merger Sandoz dan Ciba-Geigy ini merupakan korporasi agrokimia nomor satu di dunia, merangkap korporasi farmasi terbesar ketiga. Sekaligus korporasi penyedia obat-obatan hewan terbesar keempat. Disamping merupakan korporasi penyedia benih terbesar kedua. Novartis juga mempunyai kontrak dengan sejumlah korporasi genom manusia dalam mendapatkan akses kepemilikan sejumlah gen manusia. Lewat klaim paten atas produk-produk hayati yang didukung sejumlah teknik bioteknologi canggih dan paten atas organisme-organisme hayati berikut pengetahuan mengenai kegunaannya, korporasi raksasa ini mengeruk keuntungan yang luar biasa.

Mengenai paten atas produk-produk hayati ini diatur dalam Undang-Undang Paten Nomor 14 tahun 2001 dan Undang-undang Hak Cipta Nomor 19 tahun 2002. Dalam Undang-Undang Perlindungan Varietas Tanaman disebutkan pemerintah menguasai varietas lokal masyarakat. Ketiga perundang-perundangan tersebut merupakan kewajiban Indonesia meratifikasi konvensi internasional terkait. Diantaranya: Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Propertyrights (TRIPs), GATT , World Trade Organization dan World Intellectual Property Organization Copyrights Treaty. Tujuan perundang-undangan tersebut untuk melindungi dan mendorong penciptaan varietas unggul baru yang komperatif pada lingkungan tropis dan berkualitas tinggi “berdaya saing”. Disamping melindungi varietas dan keanekaragaman hayati lokal.

Namun impian tak seindah kenyataan. Demikian kira-kira kiasan yang tepat untuk menggambarkan, impian Indonesia tak sesuai harapan. Tata ekonomi dunia berat sebelah malah menyebabkan konvensi internasional beserta turunannya, malah dimanfaatkan perusahaan multinasional sebaik-baiknya. Perusahaan multinasional memonopoli ilmu, informasi, teknologi, dan pasar. Pencurian paten sering dilakukan perusahaan-perusahaan multinasional - khususnya perusahaan yang awalnya tak menerapkan paten- demi mengeruk keuntungan pribadi.

Melalui analisis sejarah ekonomi Erich Schiff mencontohkan Swiss dan Belanda, adalah dua negara yang dalam sejarahnya tidak mau menerapkan undang-undang paten, banyak industrinya yang mencuri paten, namun justru saat itulah berkembang penemuan-penemuan dan perusahaan-perusahaan besar dari sana. Beberapa perusahaan Swiss seperti Nestle dan Ciba; juga perusahaan Belanda seperti Unilever dan Philips, adalah perusahaan yang tumbuh karena 'berkah' mencuri paten atau tidak adanya aturan paten itu. Namun perusahaan-perusahaan itu sekarang berbalik melakukan lobi-lobi untuk memperketat aturan paten.

Petani terpaksa merogoh kocek lebih dalam untuk mendapatkan benih, pestisida, pupuk kimia dan produk pertanian lain. Padahal belum tentu benih, pestisida, pupuk kimia tersebut cocok dengan lahan petani lokal. Sedangkan jika mengusahakan benih sendiri petani terbentur dana, waktu, keterbatasn ilmu dan perundangan yang berlaku. Walhasil, bukannya untung yang diperoleh, tapi buntung. Biaya produksi lebih tinggi dibanding harga jual komoditi. Seorang Petani Indramayu mengatakan dari Rp 1 juta hasil bertaninya selama satu musim panen, Rp 140 ribu untuk membeli pestisida. Ini belum terhitung biaya benih dan buruh penyiangan.

Petani berharap pemerintah mengembangkan benih unggul lokal dengan harga terjangkau. Namun sementara ini, harapan tersebut hanyalah mimpi. Bagaimana tidak? Pengembangan benih unggul lokal membutuhkan biaya penelitian yang tak sedikit. Sementara pemerintah acuh tak acuh terhadap riset-riset yang dibutuhkan masyarakat. Pemerintah kurang menghargai penelitian dalam negeri. Sering pula kita jumpai di lapangan, peneliti memantenkan karyanya. Tujuannya melindungi karyanya sekaligus mendapatkan royalti. Paten ini menyebabkan masyarakat sulit mendapatkan teknologi hasil penelitian tersebut secara murah dan mudah. Karena ingin bermanfaat, peneliti malah menjual hasil temuannya kepada perusahaan.

Keterbatasan dana penelitian untuk pengembangan pertanian, membuka peluang donatur dari lembaga asing atau pihak swasta menggandeng lembaga penelitian dan perguruan tinggi.Tema penelitian tentu harus mendapat restu pihak donatur. Tema-tema ini kadang tak memprioritaskan kepentingan publik dan lebih mengutamakan kepentingan pasar.Hasil penelitian bisa memunculkan masalah baru. Atau mereka mendapatkan hasilnya dengan mudah dari pelaporan penelitian. Sebab, donatur sendiri mustahil memberikan dana percuma tanpa motif atau keuntungan. Kemudian mereka memodifikasi metode atau komoditinya lalu mengklaim hasil penelitian tersebut sebagai temuannya. Sebuah perusahaan kemungkinan besar mengkomersialkannya dalam bentuk masal, lalu dijual kembali ke publik.

Dengan demikian, kait kelindan berbagai persoalan semakin terlihat nyata, ketika MNC menancapkan cengkeramannya di bidang pertanian, kedatangan MNC telah mengguncangkan pertanian negara yang didatangi, di samping kehancuran ekologi. Belum lagi masalah sosial yang menjadi akibatnya. Globalisasi pangan malah membuat para petani menderita, bahkan kelaparan. Secara faktual, ada hubungan sebab-akibat antara kesengsaraan petani dan peran negara di Dunia Ketiga. Pertama, negara telah “menjerumuskan” petani ke jurang kesengsaraan karena negaralah yang menentukan kebijakan ekonomi makro. Kedua, negara memberi izin masuknya MNC industri pangan ke wilayahnya untuk beroperasi. Negara tampak tidak berpihak kepada warga negaranya, bahkan mengorbankan mereka. Hal itu telah dan berpengaruh buruk terhadap ketahanan pangan negara berkembang, termasuk Indonesia.

Berbagai agreement internasional dibuat untuk memuluskan investasi di Indonesia, dengan difasilitasi berbagai deregulasi kebijakan yang pada intinya adalah meliberalisasi berbagai sektor, tak terkecuali sektor yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti halnya kesehatan publik dan pendidikan. Sektor pertanian pun tak luput dari skenario liberalisasi, sesuai dengan komitmen Indonesia di WTO AoA- (Agreement of Agriculture). Padahal pangan merupakan hajat hidup rakyat dan seharusnya ditarik dari WTO karena hal tersebut bukan komoditas yang diperdagangkan sebelum mampu secara mandiri memenuhi kebutuhan nasional. Pembukaan impor beras dan gula menjadi pelajaran penting dengan dibanjirinya beras dari Vietnam, dan membuat petani sangat dirugikan. Walaupun sudah dicetuskan Kebijakan Retrukturisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan, namun hingga sekarang hanya lip service saja belum ada langkah strategis dan menyeluruh untuk mengentaskan hidup para petani dan menjaga kedaulatan pangan kita.

KEBIJAKAN PENYESUAIAN STRUKTURAL SEBAGAI RESPON LIBERALISASI PERDAGANGAN

Sebagai pengejawantahan dalam konsesus washington, liberalisasi perdagangan menjadi harga mati dalam pencapaian pembangunan nasional, baik negara berkembang bahkan negara maju. Oleh karena itu dibutuhkan kebijakan penyesuaian struktural dalam menghadapinya

Proyek pemberian pinjaman pada negara-negara dunia ketiga yang secara keseluruhan telah dirinci dalam konsensus Washington, ternyata dalam penerapannya mengalami sejumlah kendala. Sebagian besar dari dana pinjaman yang diberikan justru jatuh ke tangan para petani kaya sehingga terjadi ketidakmerataan pendapatan dan tidak tercipta produktivitas ekonomi di negara resipien. Oleh karena itu, di tahun 1979 presiden Bank Dunia McNamara melakukan sejumlah penyesuaian struktural pada pinjaman yang diberikan (structural adjusment lending).

Penyesuaian strukural ini utamanya fokus pada pemberlakuan kebijakan makro-ekonomi, perubahan institusional pada level negara, penyesuaian pinjaman untuk mendorong kebijakan sektoral, dan yang paling penting adalah “industrialisasi ekonomi” untuk meningkatkan produktivitas pendapatan. Bank Dunia, dalam hal ini IDA, hanya akan memberikan pinjaman yang dilandasi prospek kebijakan yang jelas. Dengan adanya penyesuaian struktural ini, diharapkan akan mendorong munculnya orientasi ekspor dan menciptakan liberalisasi perdagangan di negara-negara resipien atau negara penerima pinjaman.

Sayangnya, penyesuaian struktural ini pun tidak serta merta membuat program pengentasan kemiskinan di negara Dunia Ketiga berhasil. Penyesuaian struktural yang berbasis pada “industrialisasi ekonomi” tidak berhasil menciptakan produktivitas pendapatan dan justru membuat sebagian besar petani kehilangan lahannya.




kanti rahmillah
Tugas Paper mata kuliah Pembangunan pertanian (Dr Dedi Budiman Hakim)



DAFTAR PUSTAKA
Baswir Revrison. 2009. Neoliberalisme. Universitas Gajah Mada. Jogjakarta
Chang, Ha Joon & Ilene Grabel. Membongkar Mitos Neolib –Upaya Merebut Makna Pembangunan. 2004. Zed Books, London.
Gie, Kwik Kian Kebijakan Ekonomi Politik dan Hilangnya Nalar. 2006.Kompas. Jakarta.
Hardono Gatoet S, dkk. Liberalisasi Perdagangan Sisi Teori, Dampak Empiris dan Perspektif Ketahanan Pangan. Jurnal Agro Ekonomi. Vol 22 no 2, Desember 2004.Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi . Bogor.
Nasiti Kurnia. Konsensus Washington, Penyesuaian Struktural, dan Neoliberalisme: Moneterisme dalam Ekonomi Politik Internasional. 2010.
Sahla S. Jaminan Pemenuhan Kebutuhan Pangan Negara. 2008. Kelompok Cerdas Politik. Bogor.
Peet, Richard. (2003). “The World Bank”, dalam Unholy Trinity: The IMF, World Bank and WTO, London: Zed Books, hal.111-145.