Pemerintah
Indonesia lagi-lagi memperpanjang kontrak karya PT Freeport Indonesia, dari
seharusnya berakhir pada tahun 2021, menjadi tahun 2041. Meski perpanjangan
kontrak akan ditandatangani dua tahun sebelum kontrak berakhir atau
pada 2019, pemerintah menjamin bahwa kesepakatan menjamin perpanjangan kontrak akan tertuang dalam
memorandum of understanding (MoU) yang akan ditandatangani
sebelum masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berakhir.
Menurut Direktur
Jenderal Mineral dan Batu bara (Minerba) Kementerian ESDM R Syukhar, keputusan
ini diambil untuk memberikan kepastian bagi investor asing, mengingat dana
investasi yang dibenamkan oleh Freeport besar, yakni mencapai 15 miliar
dollar AS.
Namun jika dilihat,
memberikan kepastian bagi investor asing sejatinya hanya alasan yang
dibuat-buat. Sebenarnya adalah ketundukan pada kapitalis global. Jika logika
yang dipakai pemerintah adalah untuk pelayanan rakyatnya tentu dengan
berakhirnya kontrak karya freeport maka langsung dipersiapkan BUMN yang akan
mengelolanya yang keuntungannya untuk kebutuhan dan kepentingan rakyat
Indonesia. Logika pemerintah kan tidak seperti itu. Logikanya dagang dan tunduk
pada kepentingan asing,
Sepintas
renegosiasi kali ini lebih memberi keuntungan buat Indonesia dibandingkan
negosiasi sebelumnya. Dalam renegosiasi disebutkan bahwa Freeport berjanji
akan membangun pabrik pemurnian/smelter mineral emas di Gresik, Jawa
Timur, dengan nilai investasi 2,3 miliar dollar AS. Juga akan
menaikkan royalti dari yang berlaku saat ini cuma 1 persen menjadi
3,75 persen. Juga melakukan divestasi saham sebesar 30 persen kepada
Pemerintah Indonesia, pemerintah daerah, BUMN ataupun BUMD, sesuai
aturan yang berlaku. Serta akan menjamin penggunaan tenaga kerja
lokal dan produk dalam negeri hingga 100 persen dan juga
setuju atas pengurangan areal wilayah pertambangan dari
212.950 hektar menjadi 125.000 ha. asalkan kontrak kerja diperpanjang 2 x
10 tahun dari 2021 menjadi tahun 2041.
benarkah
menguntungkan? tentu saja jika diteliti lebih dalam renegosiasi ini sangat menyakitkan
bangsa. Perpanjangan kontrak kerja 20 tahun jauh lebih merugikan Indonesia
dibandingkan dengan tawaran royalti 3,75 %, saham dalam negeri 30 % dan
sejumlah renegosiasi lainnya. Tentunya jauh lebih menguntungkan lagi jika
Freeport dikelola oleh Indonesia
sendiri. seluruh keuntungan diperuntukan selurunya untuk kemaslahatan
masyarakat.
Cadangan emas PT
Freeport Indonesia pada tahun 2012 saja mencapai Rp 1.329 triliun, atau hampir
setara dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2012 yang mencapai
Rp 1.435 triliun. jika semua keuntungan
Freeport diambil Indonesia (bukan hanya 1 % nya), Indonesia akan mampu
memperbaiki ekonomi bangsa dan kesejahteraan rakyat.
Papua adalah
kepunyaan Indonesia, jika kita lihat UUD saja, sudah jelas di pasal 33
dicantumkan bahwa yang menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai negara,
namun apa yang terjadi? mengapa kontrak kerja dengan perusahaan asing yang
sudah jelas-jelas merugikan negara tetap dipelihara?apakah presiden mendatang
akan dengan tegas memutus kerjasama tersebut?
Tanggapan Kedua Capres Mengenai Freeport
Menurut capres
Prabowo Subianto, dirinya akan membuka pintu selebar-lebarnya bagi investor
asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Hal itu disampaikan saat debat
capres yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum di Grand Melia Kuningan
Jakarta, Minggu (15/6/2014) malam, begitupun Capres Joko Widodo mengatakan kita
harus menghormati kontrak yang telah disepakati. Itu merupakan pembangunan
kepercayaan bagi investasi.
Untuk spesifik
kasus Freeport di acara terpisah, kubu Prabowo Subianto -Hatta Rajasa mengambil
sikap, biar pemerintahan baru yang memutuskan Freeport, namun mereka tidak akan
menasionalisasinya, begitupun kubu Jokowi JK ketika ditanya masalah Kontrak
kerja Freeport enggan membahas lebih jauh.
Ketidaktegasan
mereka dalam menentukan sikap sudah bisa membuktikan kepada kita, bahwa siapapun
yang terpilih menjadi presiden RI 2014, tidak akan menghentikan kontrak kerja
Freeport. walaupun nyata sekali Freeport bukan hanya merugikan bangsa namun
lebih jauh dari itu, menunjukan bahwa Indonesia bukan negara yang berdaulat.
Kebijakan Ekonomi Kapitalisme / Liberalisme
Tidak aneh memang
jika para kandidat presiden memberikan pernyataan demikian. Demokrasi dan sistem
ekonomi kapitalis/liberal memiliki hubungan yang sangat erat. Hubungan erat
tersebut karena keduanya lahir dari aqidah yang sama yaitu sekulerisme. Keduanya
seperti dua sisi mata uang, saling terkait dan menguatkan. Secara politis
sekulerisme melahirkan demokrasi, dan dalam bidang ekonomi sekulerisme
melahirkan kapitalisme.
Demokrasi
memerlukan dana yang besar. Oleh karena itu, demokrasi akan berjalan bila ada
dana besar yang mendukungnya. Disinilah demokrasi ditopang kapitalisme. Sementara,
sistem ekonomi kapitalis liberal akan tumbuh subur dalam iklim kebebasan yang
membolehkan memiliki segala sesuatu dengan cara apapun. Kebebasan demikian
diberikan oleh demokrasi. padahal, sistem politik demokrasi digerakan oleh
penguasa. Dengan demikian, secara praktis kolaborasi antara demokrasi dengan
kapitalisme meniscayakan adanya persekutuan antara penguasa dengan pengusaha,
atau penguasa sekaligus sebagai pengusaha.
Berdasarkan doktrin
kapitalisme, pemerintah tidak boleh ikut campur dalam kegiatan ekonomi dan
harus diserahkan kepada swasta. Akibatnya, pengelolaan kekayaan alam termasuk
barang tambang diserahkan kepada swasta terutama asing melalui Kontrak Karya
Sebagai contoh pada
tahun 1991 ketika Kontrak kerja II PT Freeport, Pemerintah yang ditawari untuk
memperbesar sahamnya menyatakan tidak berminat dan menyerahkan ke swasta lokal
, maka saat itu masuklah pengusaha nasional Aburizal Bakrie (Bakrie Grup) yang
membeli sekitar 10 % saham.
Bukan Negoisasi Tapi Mengambil Alih Secara Total !Semua itu tidak akan terjadi jika syariah Islam diterapkan secara total. Menurut ketentuan syariah Islam, barang tambang yang depositnya sangat besar dan melimpah ditetapkan menjadi milik umum dan tidak boleh dikuasai oleh atau dikuasakan kepada swasta apalagi asing.
Ibn al-Mutawakkil menuturkan dari Abyadh bin Hamal al-Muzni bahwa:
أَنَّهُ وَفَدَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَاسْتَقْطَعَهُ الْمِلْحَ – قَالَ ابْنُ الْمُتَوَكِّلِ الَّذِى
بِمَأْرِبَ – فَقَطَعَهُ لَهُ فَلَمَّا أَنْ وَلَّى قَالَ رَجُلٌ مِنَ الْمَجْلِسِ
أَتَدْرِى مَا قَطَعْتَ لَهُ إِنَّمَا قَطَعْتَ لَهُ الْمَاءَ الْعِدَّ. قَالَ
فَانْتَزَعَ مِنْهُ
Ia datang kepada Rasulullah saw meminta (tambang) garam -Ibn
al-Muawakkil berkata “yang di Ma’rib”-, maka beliau pun memberikannya. Setelah
ia pergi, seorang laki-laki dari majlis itu berkata (kepada Nabi saw): “apakah
Engkau tahu apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah
memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir”. Lalu ia (Ibn al-Mutawakkil)
berkata: Kemudian Rasulullah saw pun manarik kembali tambang itu darinya” (HR
Abu Dawud dan at-Tirmidzi).Hadits itu juga menunjukkan bahwa tambang seperti itu tidak boleh diberikan atau dikuasakan kepada individu (swasta). Sebab (‘illat) keharaman itu adalah karena depositnya yang sangat besar (laksana air yang terus mengalir). Maka tambang apapun yang disitu ada ‘illat tersebut maka haram dimiliki oleh atau dikuasakan kepada individu (swasta). Karena itu semua tambang (bukan hanya tambang garam) yang depositnya sangat besar, haram dimiliki oleh atau dikuasakan kepada individu (swasta).
Pengelolaan harta milik umum tersebut sepenuhnya dilakukan oleh negara (pemerintah) mewakili umat. Seluruh hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat untuk kemaslahatan seluruh rakyat. Jika memang proses produksinya membutuhkan bantuan pihak swasta dalam proses eksplorasinya maka posisi mereka hanyalah sebatas pekerja (ajir), pihak yang diperkerjakan dengan bayaran tertentu. Pemerintah tidak boleh melakukan perjanjian dengan pihak swasta dalam pembagian kepemilikan saham antara pihak pemerintah dengan pihak kontraktor.
Negara juga wajib melindungi kepemilikan umum tetap menjadi milik umum. Negara juga harus mencegah individu atau swasta menguasai atau memiliki aset-aset yang termasuk harta milik umum. Jika ada individu atau swasta yang sudah terlanjur menguasainya seperti dalam kasus Freepoort saat ini, maka yang harus dilakukan oleh Negara bukan negosiasi untuk menaikkan royalti atau kepemilikan saham tetapi negara harus mengambil alihnya secara total.
Pabrik dan instalasi yang sudah dibangun boleh diambil oleh perusahaan swasta itu atau negara boleh membelinya dengan harga yang sepadan. Tetapi tentu saja setelah diperhitungkan dengan hasil yang selama ini telah mereka keruk dari harta milik umum itu. Hal ini berdasarkan hadist Rosulullah SAW. Rafi’ bin Khudaij menuturkan bahwa Rasulullah saw bersabda:
« مَنْ زَرَعَ فِى أَرْضِ قَوْمٍ بِغَيْرِ إِذْنِهِمْ فَلَيْسَ
لَهُ مِنَ الزَّرْعِ شَىْءٌ وَلَهُ نَفَقَتُهُ » (و في رواية أحمد و ابن ماجه) «
وَتُرَدُّ عَلَيْهِ نَفَقَتُهُ»
Siapa saja yang menanam di tanah suatu kaum tanpa izin mereka, maka dia
tidak berhak atas tanaman itu sedikitpun, namun dia berhak atas biaya yang
dikeluarkannya (HR Abu Dawud, dan al-Tirmidzi) dan dalam riwayat Ahmad dan
Ibn Majah : “dan biayanya dikembalikan kepadanya”Dengan demikian, secara syar’i yang harus dilakukan oleh negara bukan menegosiasikan penambahan royalti atau kepemilikan saham. Apalagi dalam kasus Freeport ini potensinya masih tersisa lebih dari Rp 600 triliun. Secara syar’i yang wajib dilakukan negara adalah mengambil alih pengelolaan semua harta milik umum termasuk tambang, minyak, gas, dsb. Selanjutnya, negara mengelola semua harta milik umum itu dengan baik dan seluruh hasilnya dikembalikan kepada seluruh rakyat diantaranya untuk membiayai berbagai pelayanan dan kepentingan rakyat.
Kanti Rahmillah, S.T.P , M.Si
(Aktivis Hizbut Tahrir Purwakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar