Selasa, 08 Juli 2014

Renegosiasi Kontrk Freeport : Bukti Demokrasi, Dari Untuk Oleh Korporasi



Pemerintah Indonesia lagi-lagi memperpanjang kontrak karya PT Freeport Indonesia, dari seharusnya berakhir pada tahun 2021, menjadi tahun 2041. Meski perpanjangan kontrak akan ditandatangani dua tahun sebelum kontrak berakhir atau pada 2019, pemerintah menjamin bahwa kesepakatan menjamin  perpanjangan kontrak akan tertuang dalam memorandum of understanding (MoU) yang akan ditandatangani sebelum masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berakhir.
Menurut Direktur Jenderal Mineral dan Batu bara (Minerba) Kementerian ESDM R Syukhar, keputusan ini diambil untuk memberikan kepastian bagi investor asing, mengingat dana investasi yang dibenamkan oleh Freeport besar, yakni mencapai 15 miliar dollar AS.
Namun jika dilihat, memberikan kepastian bagi investor asing sejatinya hanya alasan yang dibuat-buat. Sebenarnya adalah ketundukan pada kapitalis global. Jika logika yang dipakai pemerintah adalah untuk pelayanan rakyatnya tentu dengan berakhirnya kontrak karya freeport maka langsung dipersiapkan BUMN yang akan mengelolanya yang keuntungannya untuk kebutuhan dan kepentingan rakyat Indonesia. Logika pemerintah kan tidak seperti itu. Logikanya dagang dan tunduk pada kepentingan asing,
Sepintas renegosiasi kali ini lebih memberi keuntungan buat Indonesia dibandingkan negosiasi sebelumnya. Dalam renegosiasi disebutkan bahwa Freeport berjanji akan membangun pabrik pemurnian/smelter mineral emas di Gresik, Jawa Timur, dengan nilai investasi 2,3 miliar dollar AS. Juga akan menaikkan royalti dari yang berlaku saat ini cuma 1 persen menjadi 3,75 persen. Juga melakukan divestasi saham sebesar 30 persen kepada Pemerintah Indonesia, pemerintah daerah, BUMN ataupun BUMD, sesuai aturan yang berlaku. Serta akan menjamin penggunaan tenaga kerja lokal dan produk dalam negeri hingga 100 persen dan juga setuju atas pengurangan areal wilayah pertambangan dari 212.950 hektar menjadi 125.000 ha. asalkan kontrak kerja diperpanjang 2 x 10 tahun dari 2021 menjadi tahun 2041.
benarkah menguntungkan? tentu saja jika diteliti lebih dalam renegosiasi ini sangat menyakitkan bangsa. Perpanjangan kontrak kerja 20 tahun jauh lebih merugikan Indonesia dibandingkan dengan tawaran royalti 3,75 %, saham dalam negeri 30 % dan sejumlah renegosiasi lainnya. Tentunya jauh lebih menguntungkan lagi jika Freeport dikelola oleh  Indonesia sendiri. seluruh keuntungan diperuntukan selurunya untuk kemaslahatan masyarakat.
Cadangan emas PT Freeport Indonesia pada tahun 2012 saja mencapai Rp 1.329 triliun, atau hampir setara dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2012 yang mencapai Rp 1.435 triliun.  jika semua keuntungan Freeport diambil Indonesia (bukan hanya 1 % nya), Indonesia akan mampu memperbaiki ekonomi bangsa dan kesejahteraan rakyat.
Papua adalah kepunyaan Indonesia, jika kita lihat UUD saja, sudah jelas di pasal 33 dicantumkan bahwa yang menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai negara, namun apa yang terjadi? mengapa kontrak kerja dengan perusahaan asing yang sudah jelas-jelas merugikan negara tetap dipelihara?apakah presiden mendatang akan dengan tegas memutus kerjasama tersebut?
Tanggapan Kedua Capres Mengenai Freeport
Menurut capres Prabowo Subianto, dirinya akan membuka pintu selebar-lebarnya bagi investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Hal itu disampaikan saat debat capres yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum di Grand Melia Kuningan Jakarta, Minggu (15/6/2014) malam, begitupun Capres Joko Widodo mengatakan kita harus menghormati kontrak yang telah disepakati. Itu merupakan pembangunan kepercayaan bagi investasi.
Untuk spesifik kasus Freeport di acara terpisah, kubu Prabowo Subianto -Hatta Rajasa mengambil sikap, biar pemerintahan baru yang memutuskan Freeport, namun mereka tidak akan menasionalisasinya, begitupun kubu Jokowi JK ketika ditanya masalah Kontrak kerja Freeport enggan membahas lebih jauh.
Ketidaktegasan mereka dalam menentukan sikap sudah bisa membuktikan kepada kita, bahwa siapapun yang terpilih menjadi presiden RI 2014, tidak akan menghentikan kontrak kerja Freeport. walaupun nyata sekali Freeport bukan hanya merugikan bangsa namun lebih jauh dari itu, menunjukan bahwa Indonesia bukan negara yang berdaulat.
Kebijakan Ekonomi Kapitalisme / Liberalisme
Tidak aneh memang jika para kandidat presiden memberikan pernyataan demikian. Demokrasi dan sistem ekonomi kapitalis/liberal memiliki hubungan yang sangat erat. Hubungan erat tersebut karena keduanya lahir dari aqidah yang sama yaitu sekulerisme. Keduanya seperti dua sisi mata uang, saling terkait dan menguatkan. Secara politis sekulerisme melahirkan demokrasi, dan dalam bidang ekonomi sekulerisme melahirkan kapitalisme.
Demokrasi memerlukan dana yang besar. Oleh karena itu, demokrasi akan berjalan bila ada dana besar yang mendukungnya. Disinilah demokrasi ditopang kapitalisme. Sementara, sistem ekonomi kapitalis liberal akan tumbuh subur dalam iklim kebebasan yang membolehkan memiliki segala sesuatu dengan cara apapun. Kebebasan demikian diberikan oleh demokrasi. padahal, sistem politik demokrasi digerakan oleh penguasa. Dengan demikian, secara praktis kolaborasi antara demokrasi dengan kapitalisme meniscayakan adanya persekutuan antara penguasa dengan pengusaha, atau penguasa sekaligus sebagai pengusaha.
Berdasarkan doktrin kapitalisme, pemerintah tidak boleh ikut campur dalam kegiatan ekonomi dan harus diserahkan kepada swasta. Akibatnya, pengelolaan kekayaan alam termasuk barang tambang diserahkan kepada swasta terutama asing melalui Kontrak Karya
Sebagai contoh pada tahun 1991 ketika Kontrak kerja II PT Freeport, Pemerintah yang ditawari untuk memperbesar sahamnya menyatakan tidak berminat dan menyerahkan ke swasta lokal , maka saat itu masuklah pengusaha nasional Aburizal Bakrie (Bakrie Grup) yang membeli sekitar 10 % saham.  
Bukan Negoisasi Tapi Mengambil Alih Secara Total !
Semua itu tidak akan terjadi jika syariah Islam diterapkan secara total. Menurut ketentuan syariah Islam, barang tambang yang depositnya sangat besar dan melimpah ditetapkan menjadi milik umum dan tidak boleh dikuasai oleh atau dikuasakan kepada swasta apalagi asing.
Ibn al-Mutawakkil menuturkan dari Abyadh bin Hamal al-Muzni bahwa:
أَنَّهُ وَفَدَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَقْطَعَهُ الْمِلْحَ – قَالَ ابْنُ الْمُتَوَكِّلِ الَّذِى بِمَأْرِبَ – فَقَطَعَهُ لَهُ فَلَمَّا أَنْ وَلَّى قَالَ رَجُلٌ مِنَ الْمَجْلِسِ أَتَدْرِى مَا قَطَعْتَ لَهُ إِنَّمَا قَطَعْتَ لَهُ الْمَاءَ الْعِدَّ. قَالَ فَانْتَزَعَ مِنْهُ
Ia datang kepada Rasulullah saw meminta (tambang) garam -Ibn al-Muawakkil berkata “yang di Ma’rib”-, maka beliau pun memberikannya. Setelah ia pergi, seorang laki-laki dari majlis itu berkata (kepada Nabi saw): “apakah Engkau tahu apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir”. Lalu ia (Ibn al-Mutawakkil) berkata: Kemudian Rasulullah saw pun manarik kembali tambang itu darinya” (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).
Hadits itu juga menunjukkan bahwa tambang seperti itu tidak boleh diberikan atau dikuasakan kepada individu (swasta). Sebab (‘illat) keharaman itu adalah karena depositnya yang sangat besar (laksana air yang terus mengalir). Maka tambang apapun yang disitu ada ‘illat tersebut maka haram dimiliki oleh atau dikuasakan kepada individu (swasta). Karena itu semua tambang (bukan hanya tambang garam) yang depositnya sangat besar, haram dimiliki oleh atau dikuasakan kepada individu (swasta).
Pengelolaan harta milik umum tersebut sepenuhnya dilakukan oleh negara (pemerintah) mewakili umat. Seluruh hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat untuk kemaslahatan seluruh rakyat. Jika memang proses produksinya membutuhkan bantuan pihak swasta dalam proses eksplorasinya maka posisi mereka hanyalah sebatas pekerja (ajir), pihak yang diperkerjakan dengan bayaran tertentu. Pemerintah tidak boleh melakukan perjanjian dengan pihak swasta dalam pembagian kepemilikan saham antara pihak pemerintah dengan pihak kontraktor.
Negara juga wajib melindungi kepemilikan umum tetap menjadi milik umum. Negara juga harus mencegah individu atau swasta menguasai atau memiliki aset-aset yang termasuk harta milik umum. Jika ada individu atau swasta yang sudah terlanjur menguasainya seperti dalam kasus Freepoort saat ini, maka yang harus dilakukan oleh Negara bukan negosiasi untuk menaikkan royalti atau kepemilikan saham tetapi negara harus mengambil alihnya secara total.
Pabrik dan instalasi yang sudah dibangun boleh diambil oleh perusahaan swasta itu atau negara boleh membelinya dengan harga yang sepadan. Tetapi tentu saja setelah diperhitungkan dengan hasil yang selama ini telah mereka keruk dari harta milik umum itu. Hal ini berdasarkan hadist Rosulullah SAW. Rafi’ bin Khudaij menuturkan bahwa Rasulullah saw bersabda:
« مَنْ زَرَعَ فِى أَرْضِ قَوْمٍ بِغَيْرِ إِذْنِهِمْ فَلَيْسَ لَهُ مِنَ الزَّرْعِ شَىْءٌ وَلَهُ نَفَقَتُهُ » (و في رواية أحمد و ابن ماجه) « وَتُرَدُّ عَلَيْهِ نَفَقَتُهُ»
Siapa saja yang menanam di tanah suatu kaum tanpa izin mereka, maka dia tidak berhak atas tanaman itu sedikitpun, namun dia berhak atas biaya yang dikeluarkannya (HR Abu Dawud, dan al-Tirmidzi) dan dalam riwayat Ahmad dan Ibn Majah : “dan biayanya dikembalikan kepadanya
Dengan demikian, secara syar’i yang harus dilakukan oleh negara bukan menegosiasikan penambahan royalti atau kepemilikan saham. Apalagi dalam kasus Freeport ini potensinya masih tersisa lebih dari Rp 600 triliun. Secara syar’i yang wajib dilakukan negara adalah mengambil alih pengelolaan semua harta milik umum termasuk tambang, minyak, gas, dsb. Selanjutnya, negara mengelola semua harta milik umum itu dengan baik dan seluruh hasilnya dikembalikan kepada seluruh rakyat diantaranya untuk membiayai berbagai pelayanan dan kepentingan rakyat.

Kanti Rahmillah, S.T.P , M.Si

(Aktivis Hizbut Tahrir Purwakarta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar