Selasa, 08 Juli 2014

PREDATOR ANAK, LEMAHNYA HUKUM INDONESIA



Kasus predator anak kembali mencuat pasca terbongkarnya kasus pelecehan seksual pada anak TK di Jakarta International School (JIS). bocah berusia 5 tahun itu disodomi oleh cleaning service sekolahnya, pasca ibu korban melaporkan kejadian tersebut akhirnya terungkap tidak hanya satu korbannya, ternyata kejadian ini sudah bertahun-tahun terjadi namun tidak terungkap media.
Akhirnya kemendikbud menutup sementara TK JIS karena dianggap tidak koperatif. Pihak JIS sulit melengkapi data yang dibutuhkan pihak kementrian pendidikan, misalnya masalah kurikulum dan biodata pengajar, yang diketahui belakangan bahwa kurikulum JIS ternyata tidak sesuai dengan budaya Indonesia. Padahal, sekolah swasta internasional harus memasukan kurikulum pembentukan moral dan budaya, seperti Bahasa Indonesi, Agama, Kewarganegaraan, dan Sejarah Indonesia, tetapi JIS hanya memasukan Bahasa Indonesia saja (metrotvnews.com). Selain itu ternyata TK JIS sendiri belum memiliki izin dari pihak kementrian, padahal untuk sekolah elit sekelas JIS seharusnya hal tersebut tidak terabaikan.
Menurut korban, yang melakukan tindakan asusila kepada dirinya ada 3 orang, dilakukan di toilet atau di kelas sewaktu kosong dan ini tidak sekali, orangnya pun kadang berbeda, anehnya korban mengatakan ada salah satunya yang berambut pirang, sampai sekarang belum terdeteksi siapa si orang pirang tersebut, karena cleaning service tidak ada yang berambut pirang, menurut penyelidikan disinyalir ada guru asing yang terlibat (tribunnews.com)
Terungkapnya kasus ini membuat pihak KPAI (komisi perlindungan Anak Indonesia) mengatakan hukuman bagi pelaku pelecehan seksual kepada anak, maksimal 15 tahun penjara dan denda 60 juta dinilai terlalu ringan. KPAI merencanakan judicial review untuk revisi UU PA. Begitupun petisi online dengan ID nama Fellma Pnajaitan di change.org , petisi Fellma ini menyatakan harus ada perubahan UU terhadap pelaku predator anak, menurut petisi tersebut hukuman 5-15 tahun sangat tidak cukup. karena trauma yang dialami korban pastinya akan seumur hidup. Petisi Fellma sampai saat ini sudah mempunyai lebih dari 60 ribu pendukung.

Lemahnya Hukum Indonesia dalam Melindungi Anak dari Kejahatan Seksual:
Kasus seperti ini tentunya bukan pertama kali terjadi di negeri tercinta ini, sudah banyak korban yang nantinya menurut psikologis mempunyai kecenderungan besar menjadi pelaku ketika dia dewasa, sebut saja robot gedek yang dulu sempat menghebohkan tanah air dengan tindakan asusilanya, ternyata dia pun dulunya adalah korban sodomi.
Lantas, apakah ini terjadi begitu saja? ada asap pasti ada apinya, jangan sibuk membuang asap, carilah apinya, agar selesai permaslahannya sampai tuntas dan kita kembali menghirup udara segar.
Jika ditelaah ada beberapa poin yang bisa diambil dari kasus ini, yang intinya mengarah pada Lemahnya Hukum Indonesia dalam melindungi anak dari kejahatan seksual, mengapa demikian? karena yang bertanggung jawab terhadap rakyat adalah negaranya.
Pertama adalah terkait dengan ringan atau beratnya hukuman bagi pelaku kejahatan, seperti yang telah disebutkan diatas, KPAI dan juga petisi Fellma menyebutkan hukuman bagi pelaku di UU PA dianggap ringan. Pertanyaan sekarang adalah apa yang menjadi standar berat dan ringannya sebuah hukuman? siapa yang tidak suka mendekam dipenjara selama 15 tahun, atau apakah ada yang mau dipenjara 1 bulan saja?secara logika tidak ada yang mau dipenjara walau 1 hari pun, namun mengapa kejahatan semakin menjamur? itulah logika keliru yang dibangun oleh hukum yang ada sekarang, hukum ini berasumi bahwa semakin tinggi hukuman semakin kecil potensi pelanggaran. Logika ini membangun rasa takut terhadap maksiat dari tingginya sanksi. bukan karena kesadaran yang dibangun berdasarkan ketakwaan individu bahwa hal demikian dilarang oleh zat yang menciptakan dirinya. Namun tentunya karena aturan negara kita tidak merujuk pada syariat Islam, kesadaran ini akan sulit timbul dalam diri masyarakat.
Kedua adalah lemahnya eksekusi pemerintah, alias pemerintah bertindak ‘hanya’ ketika ada kasus, kasus JIS ini ditangani dengan serius setelah masuk media, walhasil setelah kasus JIS selesai, aka nada kasus-kasus lainnya yang serupa. karena pemerintah hanya menyelesaikan kasus JIS bukan menyelesaikan permasalahan inti dari kasus ini.
Ketiga adalah pemerintah lemah dalam memberantas pornografi termasuk video porno dengan objek anak-anak. Seperti yang ditemukan bareskrim dari 120.000 video porno, 100 buahnya melibatkan anak-anak dan dibuat di Indonesia,  lokasi syutingnya ada yang dilakukan disekolah (antaranews.com). ini adalah bentuk lemahnya pemerintah dalam memberantas pemicu kejahatan pada anak.
Keempat adalah masyarakat secara sistematis dirangsang secara seksual dan difasilitasi melakukan kejahatan, dengan abainya pemerintah terhadap sensor media misalnya. sebagai contoh lagu-lagu pantura yang liriknya nakal, “Buka Dikit Jos” atau “Cinta Satu Malam” atas nama karya seni dibiarkan berdengung dimana-mana. Juga tontonan yang tidak layak dikonsumsi, diputar di frame time televisi. Pakaian-pakaian yang minim di sinetron-sinetron  remaja pun menjadi biasa.
Tak heran jika KPAI mengatakan faktor-faktor pemicu terjadinya kejahatan seksual adalah budaya permisif yang ada di lingkungan JIS. Berciuman di area publik adalah hal biasa di JIS (metrotvnews.com). Senada dengan apa yang dilaporkan oleh pihak kementrian pendidikan, bahwa seragam JIS bebas dan minim (tempo.co).
Akhirnya pihak yang lemah dalam hal ini anak-anak kehilangan fitrah perlindungannya, mereka yang seharusnya dijaga karena masih belum bisa bersikap, harus dijejali budaya yang mampu mendorong mereka pada perbuatan maksiat, bahkan menjadi korban kemaksiatan. wawlahualam



Kanti Rahmillah, S.T.P, M,Si

Tidak ada komentar:

Posting Komentar