Kasus predator anak kembali mencuat pasca
terbongkarnya kasus pelecehan seksual pada anak TK di Jakarta International
School (JIS). bocah berusia 5 tahun itu disodomi oleh cleaning service sekolahnya, pasca ibu korban melaporkan kejadian
tersebut akhirnya terungkap tidak hanya satu korbannya, ternyata kejadian ini
sudah bertahun-tahun terjadi namun tidak terungkap media.
Akhirnya kemendikbud menutup sementara TK JIS karena
dianggap tidak koperatif. Pihak JIS sulit melengkapi data yang dibutuhkan pihak
kementrian pendidikan, misalnya masalah kurikulum dan biodata pengajar, yang
diketahui belakangan bahwa kurikulum JIS ternyata tidak sesuai dengan budaya
Indonesia. Padahal, sekolah swasta internasional harus memasukan kurikulum
pembentukan moral dan budaya, seperti Bahasa Indonesi, Agama, Kewarganegaraan,
dan Sejarah Indonesia, tetapi JIS hanya memasukan Bahasa Indonesia saja
(metrotvnews.com). Selain itu ternyata TK JIS sendiri belum memiliki izin dari
pihak kementrian, padahal untuk sekolah elit sekelas JIS seharusnya hal
tersebut tidak terabaikan.
Menurut korban, yang melakukan tindakan asusila
kepada dirinya ada 3 orang, dilakukan di toilet atau di kelas sewaktu kosong
dan ini tidak sekali, orangnya pun kadang berbeda, anehnya korban mengatakan
ada salah satunya yang berambut pirang, sampai sekarang belum terdeteksi siapa
si orang pirang tersebut, karena cleaning
service tidak ada yang berambut pirang, menurut penyelidikan disinyalir ada
guru asing yang terlibat (tribunnews.com)
Terungkapnya kasus ini membuat pihak KPAI (komisi
perlindungan Anak Indonesia) mengatakan hukuman bagi pelaku pelecehan seksual
kepada anak, maksimal 15 tahun penjara dan denda 60 juta dinilai terlalu ringan.
KPAI merencanakan judicial review untuk revisi UU PA. Begitupun petisi online dengan
ID nama Fellma Pnajaitan di change.org , petisi Fellma ini menyatakan harus ada
perubahan UU terhadap pelaku predator anak, menurut petisi tersebut hukuman
5-15 tahun sangat tidak cukup. karena trauma yang dialami korban pastinya akan
seumur hidup. Petisi Fellma sampai saat ini sudah mempunyai lebih dari 60 ribu
pendukung.
Lemahnya
Hukum Indonesia dalam Melindungi Anak dari Kejahatan Seksual:
Kasus seperti ini tentunya bukan pertama kali
terjadi di negeri tercinta ini, sudah banyak korban yang nantinya menurut
psikologis mempunyai kecenderungan besar menjadi pelaku ketika dia dewasa,
sebut saja robot gedek yang dulu sempat menghebohkan tanah air dengan tindakan
asusilanya, ternyata dia pun dulunya adalah korban sodomi.
Lantas, apakah ini terjadi begitu saja? ada asap
pasti ada apinya, jangan sibuk membuang asap, carilah apinya, agar selesai
permaslahannya sampai tuntas dan kita kembali menghirup udara segar.
Jika ditelaah ada beberapa poin yang bisa diambil
dari kasus ini, yang intinya mengarah pada Lemahnya Hukum Indonesia dalam
melindungi anak dari kejahatan seksual, mengapa demikian? karena yang
bertanggung jawab terhadap rakyat adalah negaranya.
Pertama adalah terkait dengan ringan atau beratnya
hukuman bagi pelaku kejahatan, seperti yang telah disebutkan diatas, KPAI dan
juga petisi Fellma menyebutkan hukuman bagi pelaku di UU PA dianggap ringan. Pertanyaan
sekarang adalah apa yang menjadi standar berat dan ringannya sebuah hukuman?
siapa yang tidak suka mendekam dipenjara selama 15 tahun, atau apakah ada yang
mau dipenjara 1 bulan saja?secara logika tidak ada yang mau dipenjara walau 1
hari pun, namun mengapa kejahatan semakin menjamur? itulah logika keliru yang
dibangun oleh hukum yang ada sekarang, hukum ini berasumi bahwa semakin tinggi
hukuman semakin kecil potensi pelanggaran. Logika ini membangun rasa takut
terhadap maksiat dari tingginya sanksi. bukan karena kesadaran yang dibangun
berdasarkan ketakwaan individu bahwa hal demikian dilarang oleh zat yang
menciptakan dirinya. Namun tentunya karena aturan negara kita tidak merujuk
pada syariat Islam, kesadaran ini akan sulit timbul dalam diri masyarakat.
Kedua adalah lemahnya eksekusi pemerintah, alias
pemerintah bertindak ‘hanya’ ketika ada kasus, kasus JIS ini ditangani dengan
serius setelah masuk media, walhasil setelah kasus JIS selesai, aka nada
kasus-kasus lainnya yang serupa. karena pemerintah hanya menyelesaikan kasus
JIS bukan menyelesaikan permasalahan inti dari kasus ini.
Ketiga adalah pemerintah lemah dalam memberantas
pornografi termasuk video porno dengan objek anak-anak. Seperti yang ditemukan
bareskrim dari 120.000 video porno, 100 buahnya melibatkan anak-anak dan dibuat
di Indonesia, lokasi syutingnya ada yang
dilakukan disekolah (antaranews.com). ini adalah bentuk lemahnya pemerintah
dalam memberantas pemicu kejahatan pada anak.
Keempat adalah masyarakat secara sistematis dirangsang secara seksual dan difasilitasi
melakukan kejahatan, dengan abainya pemerintah terhadap sensor media misalnya.
sebagai contoh lagu-lagu pantura yang liriknya nakal, “Buka Dikit Jos” atau “Cinta
Satu Malam” atas nama karya seni dibiarkan berdengung dimana-mana. Juga
tontonan yang tidak layak dikonsumsi, diputar di frame time televisi. Pakaian-pakaian yang minim di
sinetron-sinetron remaja pun menjadi
biasa.
Tak heran jika KPAI
mengatakan faktor-faktor pemicu terjadinya kejahatan seksual adalah budaya
permisif yang ada di lingkungan JIS. Berciuman di area publik
adalah hal biasa di JIS (metrotvnews.com). Senada dengan apa yang dilaporkan oleh pihak kementrian pendidikan, bahwa
seragam JIS bebas dan minim (tempo.co).
Akhirnya pihak yang lemah dalam hal ini anak-anak
kehilangan fitrah perlindungannya, mereka yang seharusnya dijaga karena masih
belum bisa bersikap, harus dijejali budaya yang mampu mendorong mereka pada
perbuatan maksiat, bahkan menjadi korban kemaksiatan. wawlahualam
Kanti Rahmillah, S.T.P, M,Si
Tidak ada komentar:
Posting Komentar