KEBIJAKAN PENYESUAIAN STRUKTURAL SEBAGAI RESPON LIBERALISASI PERDAGANGAN SEKTOR PERTANIAN
(Pengaruh Washington Consensus terhadap perekonomian Indonesia pasca krisis 1997)
PENDAHULUAN
Pasca 1930, saat perekonomian dunia terjerumus ke dalam depresi besar-besaran, kepercayaan terhadap paham ekonomi pasar liberal merosot secara drastis. Ternyata mekanisme pasar tidak mampu mengurus dirinya sendiri, bahkan dapat menjadi sumber malapetaka bagi kemanusiaan. Teori Keynes ini menjadi sorotan tajam, menyadari kelemahan ekonomi pasar liberal tersebut, pada September 1932, sejumlah ekonom Jerman yang dimotori oleh Rustow dan Eucken mengusulkan dilakukannya perbaikan terhadap paham ekonomi pasar, yaitu dengan memperkuat peranan negara sebagai pembuat peraturan. Dari sini cikal bakal neoliberalisme muncul.
Menyusul terjadinya krisis moneter secara luas di negara-negara Amerika Latin. Departemen Keuangan AS bekerja sama dengan Dana Moneter Internasional (IMF), merumuskan sebuah paket kebijakan ekonomi neoliberal yang dikenal sebagai paket kebijakan Konsensus Washington. Inti paket kebijakan Konsensus Washington yang menjadi menu dasar program penyesuaian struktural IMF tersebut adalah sebagai berikut: (1) pelaksanaan kebijakan anggaran ketat, termasuk kebijakan penghapusan subsidi; (2) liberalisasi sektor keuangan; (3) liberalisasi perdagangan; dan (4) pelaksanaan privatisasi BUMN.
Di Indonesia, pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal secara masif berlangsung setelah perekonomian Indonesia dilanda krisis moneter pada 1997/1998 lalu. Secara terinci hal itu dapat disimak dalam berbagai nota kesepahaman yang ditandatatangani pemerintah bersama IMF. Setelah berakhirnya keterlibatan langsung IMF pada 2006 lalu, pelaksanaan agenda-agenda tersebut selanjutnya dikawal oleh Bank Dunia, ADB dan USAID.
Tulisan ini akan mengulas bagaimana terjadinya penyesuaian struktural sebagai respon dari paket kebijakan konsesus washington yang intinya membahas liberalisasi, privatisasi dan deregulasi pada perekonomian dunia, termasuk di dalamnya perekonomian Indonesia. Dalam tulisan inipun akan dibahas proses pengawalan dalam penyesuaian struktural yang melibatkan IMF, yang seterusnya dilanjutkan oleh bank dunia serta kondisi perekonomian Indonesia pasca krisis 1997.
WASHINGTON CONSESUS
Penerapan agenda-agenda ekonomi neoliberal secara mencolok dimotori oleh Inggris melalui pelaksanaan privatisasi seluruh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mereka. Penyebarluasan agenda-agenda ekonomi neoliberal ke seluruh penjuru dunia, menemukan momentum setelah dialaminya krisis moneter oleh beberapa Negara Amerika Latin pada penghujung 1980-an. Sebagaimana dikemukakan Stiglitz, dalam rangka menanggulangi krisis moneter yang dialami oleh beberapa negara Amerika Latin, bekerja sama dengan Departemen keuangan AS dan Bank Dunia, IMF sepakat meluncurkan sebuah paket kebijakan ekonomi yang dikenal sebagai paket kebijakan Konsensus Washington.
Secara singkat, isi Konsensus Washington—yang sering juga disebut sebagai pendekatan Neoliberal adalah (Williamson 1994:26-7; Burki dan Perry 1998:7, serta Lynn 2003:63-4). Pertama, disiplin fiskal. Pemerintah diminta menjaga agar anggarannya mengalami surplus. Kalaupun terpaksa defisit, tidak boleh melampaui dua persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Kedua, memberikan prioritas kepada belanja sektor publik, terutama di sektor pendidikan dan kesehatan, sebagai upaya memperbaiki distribusi pendapatan.
Ketiga, memperluas basis pemungutan pajak agar dapat dibangun struktur penerimaan anggaran yang sehat. Keempat, liberalisasi finansial. Suku bunga harus dijaga positif secara riil (lebih tinggi daripada laju inflasi) dan hindari kebijakan suku bunga yang mengistimewakan debitor tertentu (preferential interest rates for favored borrowers). Kelima, kurs mata uang harus diusahakan kompetitif (tidak terlalu kuat), tetapi kredibel (tidak terlalu lemah).
Keenam, mendorong liberalisasi perdagangan melalui upaya menghapus restriksi kuantitatif (hambatan perdagangan, seperti pengenaan tarif, kuota, dan larangan-larangan lainnya). Ketujuh, menerapkan kesamaan perlakuan antara investasi asing dan investasi domestik sebagai insentif untuk menarik sebanyak mungkin investasi asing langsung.
Kedelapan, untuk mendorong kinerja badan usaha milik negara (BUMN), seyogianya dilakukan privatisasi (penjualan saham ke sektor privat). Kesembilan, pasar harus didorong agar lebih kompetitif melalui serangkaian kebijakan deregulasi dan menghilangkan hambatan atau restriksi bagi para pelaku ekonomi baru. Kesepuluh, harus ada perlindungan terhadap property rights, baik di sektor formal maupun sektor informal.
Namun jika ditelaah, konsensus ini dapat dirangkum menjadi 3 pilar:
(1) Deregulasi/ disiplin anggaran pemerintah (fiscal austerity atau fiscal disipline),
(2) liberalisasi pasar (market liberalization), dan
(3) privatisasi BUMN (Stiglitz 2002:53).
WORLD BANK
Merujuk pada tulisan Richard Peet berjudul “World Bank”, pendirian Bank Dunia mempunyai sebuah misi utama yakni menciptakan dunia tanpa kemiskinan di dalamnya, sebagaimana dikutip dalam sebuah kalimat “our dream is a world without poverty”. Lebih lanjut, sejumlah tujuan lain di balik pendirian Bank Dunia terangkum dalam pasal 1 kesepakatan Bretton Woods, yakni: (1) untuk membantu rekonstruksi dan perkembangan teritori negara anggota dengan memfasilitasi investasi modal untuk tujuan produktif, meliputi restorasi perekonomian yang kacau akibat perang sekaligus memfasilitasi proses development di negara-negara yang kurang berkembang; (2) untuk mendorong masuknya investasi swasta asing (private foreign investment) sebagai pemberi jaminan atau pinjaman di Bank Dunia, dan sebaliknya ketika pihak swasta kesulitan menyediakan dana investasi maka Bank Dunia akan berusaha menciptakan kondisi yang sesuai bagi produktivitas modal mereka; (3) untuk mendorong terciptanya keseimbangan pertumbuhan perdagangan internasional dan keseimbangan neraca pembayaran (balance of payments); (4) untuk mengatur jumlah pinjaman yang tersedia sehingga dapat mencegah munculnya pinjaman-pinjaman dari pihak lain¾selain Bank Dunia; (5) untuk menciptakan transisi ekonomi yang lebih “smooth” dari perekonomian era perang menuju perekonomian era post-war.
KEBIJAKAN EKONOMI INDONESIA PASCA KRISIS 1997
Pasca krisis 1997, arah ekonomi indonesia mengalami perubahan yang signifikan. Merujuk pada LoI yang disepakati dalam konsesus washington yang intinya menekankan pada pasar bebas dengan implementasi liberalisasi, privatisasi dan deregulasi.
Kebijakan Perdagangan (Impor Komoditi Pertanian)
Kebijakan pemerintah dalam mengimpor pangan dicatat dalam beberapa fakta. Tahun tahun 2007 terjadi kenaikan impor beras menjadi 1.5 juta ton, dari 840 ribu ton tahun 2006 (atau naik sebesar 78.5 persen). Komoditi kedelai, tahun 2007 mengimpor 1.5 juta ton. Untuk memudahkan impor beras diujung tahun 2007 pemerintah melalui Menteri Keuangan menetapkan penurunan tarif bea masuk atas impor beras sebesar Rp. 100,-. Dari Rp. 550,-.menjadi Rp. 450.
Perluasan akses pasar atas komoditas pertanian menyebabkan Indonesia menjadi negara pengimpor pangan terbesar di dunia. Data tahun 2004, Indonesia menjadi pengimpor beras terbesar di dunia dengan total per tahun 3,7 juta ton, kemudian gandum 4,5 juta ton, gula 1,6 juta ton, kedelai 1,3 juta ton, jagung 1,2 juta ton, tepung telur 30.000 ton, ternak sapi 450.000 ekor, susu bubuk 170.000 ton, garam 1,5 juta ton, singkong 850.000 ton, dan kacang tanah 100.000 ton.
Selain pengimpor pangan, Indonesia juga menjadi pengimpor benih tanaman pertanian. Berdasarkan data Dirjen Hortikultura, tahun 2005, impor benih sayur-sayuran dari Selandia Baru, Australia, Jepang, Thailand, dan Malaysia sebesar 2,2 ribu ton. Impor benih sayuran terbesar tahun 2005, jenis umbi seperti kentang (2.129 ton), disusul sayuran grain seperti kubis (11,3 ton), sawi (10 ton), kangkung (9,7 ton), buncis (3,3 ton), wortel (3,04 ton), tomat (1,6 ton), mentimun (2,8 ton), dan selebihnya adalah bawang merah, cabe, dan kacang panjang. Tahun 2006 pemerintah mencoba menekan impor benih sayur-sayuran hingga 1.707 ton. Namun hal itu sulit dilakukan, karena belum ada kebijakan baru yang bisa menggerakkkan industri benih lokal. Tahun 2005, impor lain, bibit tanaman hias seperti anggrek, gladiol, krisan, mawar, melati dan sedap malam sebesar 5.322 ton. Atau 35,68 persen total kebutuhan bibit tanaman hias sebanyak 14.918 ton.
Upaya pemeriintah menekan impor benih tanaman hias hingga 3.170 ton tahun 2006 juga sulit dilakukan.Situasi ini menggambarkan perubahan posisi Indonesia dalam percaturan perdagangan pangan Internasional. Dari negara yang berstatus swasembada menjadi negara yang terbelit dalam dilema impor (net importer). Ketika beras impor telah membanjiri sentra produksi padi di Indonesia, maka ancaman berantai terhadap ketahanan pangan pun semakin serius.
Tentunya hal tersebut tidak terlepas dari perdagangan pertanian yang diatur oleh WTO (World Trade Organization). Sudah lama kaum tani di Indonesia kesusahan akibat liberalisasi perdagangan (penghapusan subsidi domestik nasional, penghapusan pajak ekspor, penghapusan tarif masuk) ala WTO.
Dominasi Perusahaan Multinasional Masuknya perusahaan multinasional, melalui perjanjian internasional yang disponsori oleh lembaga internasional seperti WTO, IMF/Bank Dunia dan PBB (FAO) yang bergerak pada bidang pertanian semakin memperlemah posisi petani lokal. Perusahaan multinasional misalnya Cargill, Charoen Pokphand, Monsanto, Coca Cola, Philip Morris, Del Monte, Nestle, Unilever, Kellog, Heinz, dsb, ini bergerak pada hampir semua sektor agroindustri.
Perdagangan gandum dunia sekitar 80 persen didistribusikan oleh hanya dua perusahaan saja, yaitu Cargill dan Archer Daniels Midland. Sebanyak 75 persen pangsa pasar perdagangan pisang dunia, hanya dikuasai oleh lima perusahaan saja, Del Monte, Dole Food, Chiquita, Fyffes, dan Noboa. Tiga perusahaan menguasai 83 persen perdagangan kakao atau coklat. Demikian juga 85 persen perdagangan teh.
Sedangkan perdagangan tembakau, sekitar tak kurang dari 70 persen produksi dikendalikan oleh Philips Morris, BAT-Rothmants, RJR Nabisco dan Japan Tobacco. Philip Morris International, yang berpusat Lausanne, Switzerland, merupakan perusahaan terbesar tembakau.
Philip Morris memiliki 50 pabrik dan lebih dari 160 pasar di seluruh dunia. Tahun 2005, Philip Moris berhasil menguasai 97 persen saham perusahaan rokok terbesar ketiga Indonesia, PT.H.M Sampoerna yang kini mengembangkan anak perusahaan di bidang pertanian, yakni PT Sampoerna Agro.
Tiga ratus perusahaan multinasional atau perusahaan transnasional yang didukung oleh kapitalisme pasar bebas, saat ini menguasai 25 persen aset dunia. Nilai penjualan per tahun dari perusahaan-perusahaan itu bervariasi antara 111 milyar dollar setara Rp 1.110 tilyun hingga 126 milyar dollar setara Rp 1.260 trilyun per tahun, dengan asumsi kurs 1 dollar sama dengan Rp 10 ribu. Disatu sisi lain, saat ini hanya ada 21 negara yang mempunyai Gross Development Product (GDP) melebihi jumlah tersebut. Sekitar 50 persen dari total pendapatan Coca Cola, Toyota, Ford, diperoleh dari penjualan diluar Amerika, sementara itu 40 persen dari volume perdagangan dunia merupakan transaksi antar perusahaan multinasional.
Menurut data FAO, tahun 1990, 93 persen air di Indonesia diperuntukan pertanian, enam persen konsumsi penduduk, satu persen kepentingan industri. Sedangkan tahun 2002 porsi peruntukkannya berubah. Untuk kepentingan irigasi pertanian telah menyusut menjadi 70 persen. PDAM di berbagai daerah telah terprivatisasi dan jatuh ke tangan perusahaan seperti Cascal BV, Thames, Vivendi, WMD dan beberapa perusahaan lain yang siap-siap merangsek menguasai PDAM di seluruh Indonesia.
di bidang industri pangan, MNC sering dianggap sebagai “dewa penyelamat” karena mampu menghasilkan makanan murah dengan kualitas tinggi. Tetapi, siapa sebenarnya yang menikmatinya? Yang pasti bukan rakyat dari negara yang sedang berkembang! Masuknya MNC industri pangan ke Dunia Ketiga ini selalu dikampanyekan sebagai berkat, karena mereka mempunyai modal dan teknologi. Produksi pangan dapat ditingkatkan lewat bioteknologi sehingga dunia tidak akan mengalami kelaparan. Namun, yang terjadi adalah kebalikannya.
Sekitar seratus perusahaan multinasional yang berkonsentrasi dalam bidang usaha jual beli benih atau pestisida atau pupuk kimia atau produk pertanian atau pangan, mengendalikan dan menguasai lebih dari 70 persen perdagangan pertanian dunia. Monsanto atau Syentega atau Astra Seneca atau Novartis atau Cargill telah menguasai hampir 75 persen pasar global pestisida, menguasai 100 persen pasar global bibit transgenik dan sekitar 25 persen penjualan bibit termasuk juga bisnis lisensi dan royalti patennya.
Salah satu raksasa korporasi hayati, Novartis misalnya. Korporasi raksasa hasil merger Sandoz dan Ciba-Geigy ini merupakan korporasi agrokimia nomor satu di dunia, merangkap korporasi farmasi terbesar ketiga. Sekaligus korporasi penyedia obat-obatan hewan terbesar keempat. Disamping merupakan korporasi penyedia benih terbesar kedua. Novartis juga mempunyai kontrak dengan sejumlah korporasi genom manusia dalam mendapatkan akses kepemilikan sejumlah gen manusia. Lewat klaim paten atas produk-produk hayati yang didukung sejumlah teknik bioteknologi canggih dan paten atas organisme-organisme hayati berikut pengetahuan mengenai kegunaannya, korporasi raksasa ini mengeruk keuntungan yang luar biasa.
Mengenai paten atas produk-produk hayati ini diatur dalam Undang-Undang Paten Nomor 14 tahun 2001 dan Undang-undang Hak Cipta Nomor 19 tahun 2002. Dalam Undang-Undang Perlindungan Varietas Tanaman disebutkan pemerintah menguasai varietas lokal masyarakat. Ketiga perundang-perundangan tersebut merupakan kewajiban Indonesia meratifikasi konvensi internasional terkait. Diantaranya: Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Propertyrights (TRIPs), GATT , World Trade Organization dan World Intellectual Property Organization Copyrights Treaty. Tujuan perundang-undangan tersebut untuk melindungi dan mendorong penciptaan varietas unggul baru yang komperatif pada lingkungan tropis dan berkualitas tinggi “berdaya saing”. Disamping melindungi varietas dan keanekaragaman hayati lokal.
Namun impian tak seindah kenyataan. Demikian kira-kira kiasan yang tepat untuk menggambarkan, impian Indonesia tak sesuai harapan. Tata ekonomi dunia berat sebelah malah menyebabkan konvensi internasional beserta turunannya, malah dimanfaatkan perusahaan multinasional sebaik-baiknya. Perusahaan multinasional memonopoli ilmu, informasi, teknologi, dan pasar. Pencurian paten sering dilakukan perusahaan-perusahaan multinasional - khususnya perusahaan yang awalnya tak menerapkan paten- demi mengeruk keuntungan pribadi.
Melalui analisis sejarah ekonomi Erich Schiff mencontohkan Swiss dan Belanda, adalah dua negara yang dalam sejarahnya tidak mau menerapkan undang-undang paten, banyak industrinya yang mencuri paten, namun justru saat itulah berkembang penemuan-penemuan dan perusahaan-perusahaan besar dari sana. Beberapa perusahaan Swiss seperti Nestle dan Ciba; juga perusahaan Belanda seperti Unilever dan Philips, adalah perusahaan yang tumbuh karena 'berkah' mencuri paten atau tidak adanya aturan paten itu. Namun perusahaan-perusahaan itu sekarang berbalik melakukan lobi-lobi untuk memperketat aturan paten.
Petani terpaksa merogoh kocek lebih dalam untuk mendapatkan benih, pestisida, pupuk kimia dan produk pertanian lain. Padahal belum tentu benih, pestisida, pupuk kimia tersebut cocok dengan lahan petani lokal. Sedangkan jika mengusahakan benih sendiri petani terbentur dana, waktu, keterbatasn ilmu dan perundangan yang berlaku. Walhasil, bukannya untung yang diperoleh, tapi buntung. Biaya produksi lebih tinggi dibanding harga jual komoditi. Seorang Petani Indramayu mengatakan dari Rp 1 juta hasil bertaninya selama satu musim panen, Rp 140 ribu untuk membeli pestisida. Ini belum terhitung biaya benih dan buruh penyiangan.
Petani berharap pemerintah mengembangkan benih unggul lokal dengan harga terjangkau. Namun sementara ini, harapan tersebut hanyalah mimpi. Bagaimana tidak? Pengembangan benih unggul lokal membutuhkan biaya penelitian yang tak sedikit. Sementara pemerintah acuh tak acuh terhadap riset-riset yang dibutuhkan masyarakat. Pemerintah kurang menghargai penelitian dalam negeri. Sering pula kita jumpai di lapangan, peneliti memantenkan karyanya. Tujuannya melindungi karyanya sekaligus mendapatkan royalti. Paten ini menyebabkan masyarakat sulit mendapatkan teknologi hasil penelitian tersebut secara murah dan mudah. Karena ingin bermanfaat, peneliti malah menjual hasil temuannya kepada perusahaan.
Keterbatasan dana penelitian untuk pengembangan pertanian, membuka peluang donatur dari lembaga asing atau pihak swasta menggandeng lembaga penelitian dan perguruan tinggi.Tema penelitian tentu harus mendapat restu pihak donatur. Tema-tema ini kadang tak memprioritaskan kepentingan publik dan lebih mengutamakan kepentingan pasar.Hasil penelitian bisa memunculkan masalah baru. Atau mereka mendapatkan hasilnya dengan mudah dari pelaporan penelitian. Sebab, donatur sendiri mustahil memberikan dana percuma tanpa motif atau keuntungan. Kemudian mereka memodifikasi metode atau komoditinya lalu mengklaim hasil penelitian tersebut sebagai temuannya. Sebuah perusahaan kemungkinan besar mengkomersialkannya dalam bentuk masal, lalu dijual kembali ke publik.
Dengan demikian, kait kelindan berbagai persoalan semakin terlihat nyata, ketika MNC menancapkan cengkeramannya di bidang pertanian, kedatangan MNC telah mengguncangkan pertanian negara yang didatangi, di samping kehancuran ekologi. Belum lagi masalah sosial yang menjadi akibatnya. Globalisasi pangan malah membuat para petani menderita, bahkan kelaparan. Secara faktual, ada hubungan sebab-akibat antara kesengsaraan petani dan peran negara di Dunia Ketiga. Pertama, negara telah “menjerumuskan” petani ke jurang kesengsaraan karena negaralah yang menentukan kebijakan ekonomi makro. Kedua, negara memberi izin masuknya MNC industri pangan ke wilayahnya untuk beroperasi. Negara tampak tidak berpihak kepada warga negaranya, bahkan mengorbankan mereka. Hal itu telah dan berpengaruh buruk terhadap ketahanan pangan negara berkembang, termasuk Indonesia.
Berbagai agreement internasional dibuat untuk memuluskan investasi di Indonesia, dengan difasilitasi berbagai deregulasi kebijakan yang pada intinya adalah meliberalisasi berbagai sektor, tak terkecuali sektor yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti halnya kesehatan publik dan pendidikan. Sektor pertanian pun tak luput dari skenario liberalisasi, sesuai dengan komitmen Indonesia di WTO AoA- (Agreement of Agriculture). Padahal pangan merupakan hajat hidup rakyat dan seharusnya ditarik dari WTO karena hal tersebut bukan komoditas yang diperdagangkan sebelum mampu secara mandiri memenuhi kebutuhan nasional. Pembukaan impor beras dan gula menjadi pelajaran penting dengan dibanjirinya beras dari Vietnam, dan membuat petani sangat dirugikan. Walaupun sudah dicetuskan Kebijakan Retrukturisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan, namun hingga sekarang hanya lip service saja belum ada langkah strategis dan menyeluruh untuk mengentaskan hidup para petani dan menjaga kedaulatan pangan kita.
KEBIJAKAN PENYESUAIAN STRUKTURAL SEBAGAI RESPON LIBERALISASI PERDAGANGAN
Sebagai pengejawantahan dalam konsesus washington, liberalisasi perdagangan menjadi harga mati dalam pencapaian pembangunan nasional, baik negara berkembang bahkan negara maju. Oleh karena itu dibutuhkan kebijakan penyesuaian struktural dalam menghadapinya
Proyek pemberian pinjaman pada negara-negara dunia ketiga yang secara keseluruhan telah dirinci dalam konsensus Washington, ternyata dalam penerapannya mengalami sejumlah kendala. Sebagian besar dari dana pinjaman yang diberikan justru jatuh ke tangan para petani kaya sehingga terjadi ketidakmerataan pendapatan dan tidak tercipta produktivitas ekonomi di negara resipien. Oleh karena itu, di tahun 1979 presiden Bank Dunia McNamara melakukan sejumlah penyesuaian struktural pada pinjaman yang diberikan (structural adjusment lending).
Penyesuaian strukural ini utamanya fokus pada pemberlakuan kebijakan makro-ekonomi, perubahan institusional pada level negara, penyesuaian pinjaman untuk mendorong kebijakan sektoral, dan yang paling penting adalah “industrialisasi ekonomi” untuk meningkatkan produktivitas pendapatan. Bank Dunia, dalam hal ini IDA, hanya akan memberikan pinjaman yang dilandasi prospek kebijakan yang jelas. Dengan adanya penyesuaian struktural ini, diharapkan akan mendorong munculnya orientasi ekspor dan menciptakan liberalisasi perdagangan di negara-negara resipien atau negara penerima pinjaman.
Sayangnya, penyesuaian struktural ini pun tidak serta merta membuat program pengentasan kemiskinan di negara Dunia Ketiga berhasil. Penyesuaian struktural yang berbasis pada “industrialisasi ekonomi” tidak berhasil menciptakan produktivitas pendapatan dan justru membuat sebagian besar petani kehilangan lahannya.
kanti rahmillah
Tugas Paper mata kuliah Pembangunan pertanian (Dr Dedi Budiman Hakim)
DAFTAR PUSTAKA
Baswir Revrison. 2009. Neoliberalisme. Universitas Gajah Mada. Jogjakarta
Chang, Ha Joon & Ilene Grabel. Membongkar Mitos Neolib –Upaya Merebut Makna Pembangunan. 2004. Zed Books, London.
Gie, Kwik Kian Kebijakan Ekonomi Politik dan Hilangnya Nalar. 2006.Kompas. Jakarta.
Hardono Gatoet S, dkk. Liberalisasi Perdagangan Sisi Teori, Dampak Empiris dan Perspektif Ketahanan Pangan. Jurnal Agro Ekonomi. Vol 22 no 2, Desember 2004.Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi . Bogor.
Nasiti Kurnia. Konsensus Washington, Penyesuaian Struktural, dan Neoliberalisme: Moneterisme dalam Ekonomi Politik Internasional. 2010.
Sahla S. Jaminan Pemenuhan Kebutuhan Pangan Negara. 2008. Kelompok Cerdas Politik. Bogor.
Peet, Richard. (2003). “The World Bank”, dalam Unholy Trinity: The IMF, World Bank and WTO, London: Zed Books, hal.111-145.