Rabu, 20 Juli 2011

KEBIJAKAN AGRARIA, KONSERVASI LAHAN DALAM PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI (PENDEKATAN TEORI TIMBERGEN POLICY ANALYSIS FRAMEWORK)

KAJIAN KERANGKA ANALISIS



PENDAHULUAN

Kebijakan pemerintah merupakan bentuk intervensi atau tindakan yang dilakukan pemerintah terhadap pasar. Kebijakan pemerintah pun keberadaanya mengganggu mekanisme pasar, karena suatu kebijakan diberlakukan ketika pasar dianggap tidak mampu mencapai tujuannya. Oleh karena itu dibutuhkan regulasi perilaku ekonomi yang akan mengontrol pasar. Semua pelaku pasar harus terikat dengan kebijakan pemerintah.

Dalam implementasinya, tentu pemerintah mengalami sejumlah kendala termasuk didalamnya tantangan penegakan hukum yang seadil-adilnya bagi rakyatnya. Karena tujuan kebijakan pemerintah semata-mata untuk kesejahteraan rakyatnya.
Oleh karena itu dibutuhkan sebuah analisis yang mendalam dalam merumuskan sebuah kebijakan. Dalam tulisan ini akan dibahas bagamana kerangka proses berfikir sebuah kebijakan pemerintah tercipta. Dengan menggunakan teori Tinbergen Policy “Analysis Frame Work policy “ yang memiliki tujuan utama mencapai sosial welfare, akan didapatkan suatu analisis yang akan menghantarkan pada terciptanya sebuah kebijakan. Dalam mencapai tujuannya, maka harus dianalisis apa yang menjadi variabel endogenous nya, maka sesuai teori tinbergen variabel endogenus dalam analisis ini adalah objectives atau tujuan. Sehingga dari sana akan membutuhkan analisis lainnya sebagai variabel exogenous.

Variabel exsogenous ini terdiri dari policy instruments (instrumen kebijakan) yang akan berhadapan dengan constraints (kendala) dalam implementasinya, dan bukan hanya kendala yang dihadapi namun faktor faktor diluar kendali manusia (beyond control) pun menjadi hal yang harus diperhatikan dalam proses berfikir ini karena kendala dan faktor-faktor diluar kendali manusia akan mempengaruhi tujuan. 3 variabel exogenous diatas bukan hanya akan mempengaruhi tujuan namun lebih jauh akan menciptakan side effect (efek samping). Namun jika dianalisis dengan mendalam dan pengkajian fakta yang akurat, akan menghasilkan tujuan jangka panjang yaitu sosial welfare (kesejahteraan sosial).

Kebijakan yang dijadikan rujukan dalam tulisan ini adalah Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi lahan yang merupakan bagian dari kebijakan agraria. Adapun isi dan penjelasan UU no 5 terlampir.

UNDANG (UU) NOMOR 5 TAHUN 1990

Sumberdaya lahan adalah merupakan salah satu kebutuhan pokok kehidupan manusia dan merupakan salah satu modal dasar pembangunan pertanian. Sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk yang terus meningkat, kebutuhan akan lahan untuk berbagai penggunaan seperti pemukiman, industri, pariwisata, transportasi, pertanian dll terus meningkat. Sementara itu secara absolut jumlah lahan yang tersedia relatif tetap. Kondisi yang mengarah ke kelaparan lahan akibat ketidak seimbangan antara jumlah penduduk dan ketersediaan lahan ini, telah mengakibatkan terjadinya konversi lahan pertanian, penyerobotan tanah negara, perambahan hutan, dan pengusahaan lahan kering perbukitan/ lahan berlereng yang seringkali tidak sesuai dengan kemampuan daya dukungnya dll.

Pengusahaan lahan perbukitan/lahan berlereng padat penduduk untuk tujuan pertanian tersebut pada umumnya kurang mengindahkan aspek lingkungan dan lebih mengutamakan hasil/keuntungan finansial sesaat. Para petani pada umumnya kurang menerapkan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air. Ditambah dengan lemahnya pembinaan petugas (penyuluhan) dan kurangnya pengetahuan petani, praktek usahatani tersebut telah merubah lahan potensial kritis menjadi lahan-lahan kritis baru. Akibat kurangnya upaya rehabilitasi pada lahan kritis dan upaya konservasi pada lahan potensial kritis, jumlah lahan kritis tersebut tidak pernah menurun dan terus bertambah dari waktu ke waktu.

Data tahun 1992 menunjukkan bahwa luas lahan usahatani kritis di luar kawasan hutan telah mencapai sekitar 18 juta hektar. Setelah hampir 13 tahun, lahan kritis diluar kawasan hutan pada tahun 2005 sekarang ini telah mencapai hampir 25 juta hektar. Terjadinya lahan-lahan kritis yang pada dasarnya berada di wilayah DAS (Daerah Aliran Sungai) tidak saja menyebabkan menurunnya produktivitas tanah ditempat terjadinya lahan kritis itu sendiri, tetapi juga menyebabkan rusaknya fungsi lahan dalam menahan, menyimpan dan meresapkan air hujan. Kondisi ini sangat penting dilakukan berbagai upaya pengendalian dalam menjaga kesuburan dan kelayakan lahan dalam mempertahankan produktivitasnya. Lebih detail lagi mengenai kondisi ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Apabila terjadi penurunan produktivitas lahan-lahan kritis tersebut mengakibatkan hasil tanaman terus menurun sehingga tidak mampu lagi mendukung kehidupan ekonomi keluarga sehingga tercipta keluargakeluarga miskin baru. Oleh karena itu kawasan lahan kritis selalu dicirikan oleh produktivitas lahan yang rendah, jumlah penduduk yang tinggi, pendapatan petani yang rendah, potensi erosi yang tinggi, terkonsentrasinya kantong kemiskinan dan kerawanan gizi bahkan akan berkurangnya persediaan pangan yang mengakibatkan terjadinya kekurangan dalam penyediaan kebutuhan pangan.


KERANGKA ANALISIS KEBIJAKAN
(TIMBERGEN POLICY ANALYSIS FRAMEWORK)

OBJECTIVE (TUJUAN)
Terdapat dua macam tujuan dalam merumuskan kebijakan; yang pertama adalah tujuan kebijakan tersebut efisiensi, dan dikatakan efisien apabila dengan sumber daya tertentu dapat diperoleh hasil yang maksimum, sering kita sebut tujuan pencapaiannya adalah pertumbuhan ekonomi. Dan tujuan ini pada dasarnya objektiv.

Adapun yang kedua adalah tujuan equiti yaitu bagaimana agar output yang dihasilkan dalam perekonomian dibagikan diantara individu / kelompok individu tersebut, sering kita sebut tujuan pencapaiannya adalah income distribution. Dan tujuan equiti ini bersifat subjektif.

CONSTRAINS (KENDALA)

Dalam menganalisis kendala yang dihadapi, maka kendala terbagi menjadi 2 klasifikasi:
1.Kendala spesifik  instrumen yang digunakan langsung mengarah pada perubahan teknis,
2.Kendala umum membuat instrumen yang dapat menyelesaikan kendala tersebut

Adapun sifat constrain :
1.Kendala relatif  misal keterbatasan anggaran  membuat instrumen kebijakan untuk mengatasinya
2.Kendala absolut  misal iklim  bagaimana antisipasi kebijakan untuk menghindar

FACTORS BEYOND CONTROL (FAKTOR DILUAR KENDALI)

Faktor diluar kendali ini merupakan faktor-faktor diluar kendali manusia. Dan keberadaanya hanya bisa dilakukan pencarian strategi untuk menghindar dari faktor-faktor tersebut.

INSTRUMEN KEBIJAKAN

Dalam memilih instrumen kebijakan, 5 hal yang harus diperhatikan adalah:
1.apakah cocokk untuk mencapai efisiensi / equity?
2.apakah diberlakukan ditingkat petani ataukah di tingkat saluran pemasaran (seperti pengecer, pedagang)?
3.apakah instrumen ini adalah instrumen harga / instrumen institusi / instrumen teknologi
4.apakah diterapkan untuk komoditas spesifik atukah berlaku secara umum
5.apakah merupakan kebijakan pasar komoditas ataukah kebijakan perdagangan atau bahkan kebijakan makroekonomi

SIDE EFFECT

Side efek adalah efek samping yang disebabkan oleh adanya kendala dan faktor di luar kendali sebagai tantangan bagi sebuah perumusan instrumen kebijakan. Dan efek samping ini biasanya terjadi bersamaan dengan tercapainya tujuan yaitu kesejahteraan masyarkat.

KERANGKA ANALISIS
KEBIJAKAN AGRARIA, KONSERVASI LAHAN DALAM PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI

OBJECTIVES (TUJUAN)

Adapun konservasi lahan mempunyai tujuan utama yaitu meningkatkan pendapatan petani dalam hal ini efisieni (pertumbuhan ekonomi). Ulasan singkatnya sebagai berikut:

Konservasi lahan merupakan upaya penempatan setiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah. Selanjutnya, konservasi lahan juga dapat didefinisikan sebagai usaha pemanfaatan lahan dalam usahatani dengan memperhatikan kemampuannya dan dengan menerapkan kaidah-kaidah konservasi tanah (air) agar lahan dapat digunakan secara lestari.

Usahatani konservasi (conservation farming) pada lahan (kering) sering dilakukan dalam penerapan paket teknologi yang ditujukan untuk melestarikan lingkungan sekaligus berfungsi meningkatkan produksi (pertanian) sehingga memberikan manfaat terhadap pendapatan petani. Di samping itu, teknologi konservasi tanah berupa komponen teknologi yang tidak dapat ditinggalkan, sebab lahan sebagai fungsi produksi harus dipertahankan kelestarian kesuburannya agar produksi tidak menurun dari waktu ke waktu sehingga akan mempengaruhi terhadap ‘produktivitas pertanian’.

Tujuan teknis konservasi lahan adalah dilakukan dalam upaya untuk:
1.Mencegah kerusakan tanah oleh erosi dan aliran permukaan sekaligus memelihara sumber air dan kelestarian fungsinya
2.Memperbaiki tanah rusak atau kritis
3.Memulihkan dan mempertahankan kesuburan tanah
4.Mengamankan dan memelihara produktivitas tanah agar tercapai produksi yang setinggitingginya dalam waktu yang tidak terbatas (lestari)
5.Mempertahankan kemampuan daya dukung lahan dan lingkungannya dalam fungsi lingkungan hidup
6.Meningkatkan produktivitas lahan usahatani sehingga menunjang peningkatan produksi dan pendapatan petani

CONSTRAIN (KENDALA)

1.Perkembangan Luas Penggunaan Lahan
Perkembangan penggunaan luas lahan sawah di Indonesia untuk pertanian tanaman pangan, secara umum berada di Pulau Jawa dibandingkan dengan Pulau lainnya. Demikian halnya dengan penggunaan lahan bukan sawah, terutama lahan perkebunan banyak terdapat di Pulau Sumatera. Kondisi ini memberikan penjelasan bahwa potensi sumberdaya lahan untuk pertanian paling dominan terdapat di Jawa sehingga perlu untuk penmanfaatan secara optimal.

Namun pada gilirannya, sesuai dengan perkembangannya, di Pulau Jawa secara umum paling tinggi jumlahnya demikian halnya juga terjadi banyak alih fungsi lahan dari pertanian ke non pertanian. Apalagi Pulau Jawa sebagai penghasil komoditi pangan terbesar di Indonesia. Selain itu, banyaknya lahan yang tidak subur dan terjaga kelayakan penggunaan untuk pertanian semakin berkurang. Di tambah lagi dengan banyaknya lahan pertanian yang subur di Pulau Jawa untuk tanaman pangan yang rusak akibat kurangya pemeliharaan kesuburan tanah melalui program konservasi lahan untuk menjaga sutainabiliti lahan tersebut.

2.Degradasi Multi-Fungsi Pertanian

Multifungsi pertanian di Indonesia saat ini sedang mengalami degradasi, sejalan dengan menurunnya kualitas dan kuantitas lahan pertanian. Proses degradasi multifungsi lahan yang paling signifikan adalah konversi lahan pertanian, karena proses ini menghilangkan semua fungsi pertanian bersamaan dengan beralihnya fungsi lahan pertanian itu sendiri. Proses degradasi lain yang banyak terjadi adalah erosi dan longsor, pencemaran, dan kebakaran hutan atau lahan. Konversi Lahan Pertanian Proses konversi lahan saat ini berlangsung tidak terkendali, terutama terhadap lahan sawah irigasi di Jawa dan sekitar kota-kota besar di luar Jawa.

Konversi lahan akan terus berlangsung sebagai dampak berbagai pembangunan yang memerlukan lahan seperti sektor industri, transportasi, pendidikan, dan permukiman. Winoto (2005) menyatakan
bahwa ancaman konversi lahan sawah ke depan sangat besar, yang mengancam
sekitar 42,40% luas sawah beririgasi di Indonesia, seperti tergambarkan dalam
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Pemerintah Kabupaten.

Salah satu penyebabnya adalah adanya kepentingan Pemerintah Daerah untuk mengumpulkan dana melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang diupayakan antara lain dengan cara meningkatkan nilai ekonomi lahan pertanian.

Erosi Tanah dan Pencemaran Kimiawi Erosi tanah oleh air telah terjadi sejak lama dan masih terus berlanjut sampai saat ini. Beberapa data yang mendukung pernyataan ini dapat dikemukakan, antara lain: 1) sedimentasi di DAS Cilutung (Jawa Barat) meningkat dari 0,90 mm/ tahun pada 1911/12 menjadi 1,90 mm/ tahun pada 1934/35, dan naik lagi menjadi 5 mm/tahun pada 1970-an (Soemarwoto, 1974), 2) laju erosi di DAS Cimanuk (Jawa Barat) mencapai 5,20 mm/tahun, mencakup areal 332 ribu ha (Partosedono 1977), 3) pada tanah Ultisols di Citayam (Jawa Barat) yang berlereng 14% dan ditanami tanaman pangan semusim, laju erosinya mencapai 25 mm/tahun (Suwardjo 1981), 4) di Putat (Jawa Tengah) laju erosi mencapai 15 mm/tahun, dan di Punung (Jawa Timur) sekitar 14 mm/tahun; keduanya pada tanah Alfisols berlereng 9?10% yang ditanami tanaman pangan semusim (Abdurachman et al. 1985), dan 5) di Pekalongan, Lampung, laju erosi tanah mencapai 3 mm/tahun pada tanah
Ultisols berlereng 3,50% yang ditanami tanaman pangan semusim; dan pada
tanah Ultisols di Baturaja berlereng 14%, laju erosinya mencapai 4,60 mm/tahun
(Abdurachman et al. 1985).

Berdasarkan kondisi tersebut, maka berbagai kegiatan konservasi lahan dilakukan, mulai rehabilitasi lahan, penyuburan dan fertilisasi lahan melalui reklamasi lahan dengan menggunakan kimiawi dengan pemakaian pupuk organik maupun anorganik. Adapun kegiatan reklamasi lahan sawah berkadar bahan organik rendah diperlukan sebagai upaya untuk meningkatkan kandungan bahan organik tanah sawah, dalam rangka perbaikan kesuburan lahan sebagai sarana pendukung peningkatan produksi tanaman pangan.

Adapun masalah sosial sering menghambat upaya konservasi lahan pertanian, seperti kepemilikan dan hak atas lahan, fragmentasi lahan pertanian, sempitnya lahan garapan petani, dan tekanan penduduk. Selain itu, ada permasalahan yang melekat pada petani sendiri, misalnya keengganan berpindah dari lahan yang tidak sesuai untuk pertanian seperti DAS bagian hulu, atau mengganti komoditas pertanian dari tanaman semusim menjadi tanaman tahunan. Hambatan ekonomis terkait dengan kondisi petani, yang pada umumnya tergolong petani kecil atau petani gurem yang tidak memiliki modal kerja cukup, sehingga komponen konservasi lahan terabaikan. Mereka sangat membutuhkan hasil langsung yang dapat diperoleh segera untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya.
Selanjutnya, dalam penerapan tindakan konservasi lahan yang sangat memerlukan biaya tinggi, sedangkan hasilnya baru dapat terlihat dalam jangka panjang. Dalam masalah konversi atau alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian, banyak petani menjual lahan pertaniannya karena membutuhkan dana untuk keperluan hidup keluarga, walaupun terpaksa kehilangan atau berkurang mata pencahariannya. Dalam al kebakaran hutan, masalah ekonomi yang menonjol adalah memilih cara penyiapan lahan untuk perkebunan yang biayanya murah. Namun, alasan tidak disiplin dan mau mudahnya saja lebih dominan dibanding alasan ekonomi.

FAKTOR DILUAR KENDALI

Pemanasan global telah menyebabkan perubahan iklim yang berdampak pada meningkatnya tekanan lingkungan dalam bentuk iregularitas ketersediaan air karena kekeringan dan banjir; degradasi lahan oleh erosi dan pengikisan bahan organik dan mineral tanah; perubahan praktik-praktik pertanian seperti pola tanam, ancaman terhadap kesinambungan produktifitas tanaman, baik itu yang menyangkut kuantitas maupun kualitas, serta perubahan dalam diversifikasi tanaman. Hal tersebut tidak bisa kita cegah, tetapi hanya bisa berstrategi dalam menghindarinya


INSTRUMENT KEBIJAKAN

Dalam rangka mengatasi pencemaran tanah oleh agrokimia, pemerintah telah memberlakukan berbagai peraturan, antara lain: 1) Permentan No. 7/1973 tentang peredaran, penyimpanan, dan penggunaan pestisida, 2) Kepmentan No. 280/1973, tentang pendaftaran, aplikasi dan lisensi pestisida, 3) Kepmentan No 429/1973, tentang pembatasan pestisida, 4) Kepmentan No. 536/1985 tentang pengawasan pestisida, dan 5) UU No. 12/1992 tentang budi daya tanaman. Namun demikian, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa penggunaan bahan-bahan agrokimia terus meningkat dari tahun ke tahun (Badan Pengendali Bimas 1990; Soeyitno dan Ardiwinata 1999). Peraturan-peraturan yang berlaku tidak mampu mengendalikan impor dan penggunaan bahan-bahan agrokimia, antara lain karena penegakan hukumnya belum dilaksanakan dengan baik, dan perdagangan bahanbahan agrokimia menyangkut nilai ekonomi yang besar.

Lahan pertanian juga perlu dilindungi terhadap pencemaran oleh limbah industri, seperti industri tekstil, kertas, baterai, dan cat, dengan cara pengaturan
pembuangan limbah. Teknologi pengelolaan limbah sudah tersedia, antara lain
berupa pembuatan instalasi pengolahan limbah untuk berbagai jenis limbah industri.

Lebih jauh dari itu, sudah ditetapkan juga baku mutu limbah untuk berbagai unsurpencemar (Ramadhi 2002), dan beberapa peraturan daerah tentang pengendalian pencemaran tanah dan air. Namun demikian, upaya-upaya tersebut belummampu mengendalikan proses pencemaran tanah pertanian.

Pengendalian daerah tangkapan hujan dan konversi lahan. Upaya perlindunganlahan pertanian yang mendesak untuk segera ditangani adalah: 1) pengendalian degradasi daerah tangkapan hujan (water catchment area), dan 2) pengendalian konversi lahan pertanian. Kedua macam degradasi lahan tersebut masih terus berlangsung dan menimbulkan hambatan besar bagi pembangunan sektor pertanian, pertanian nasional, di samping kerugian besar bagi keluarga tani danmasyarakat serta pemerintah daerah.

Salah satu strategi operasional, dengan tujuan utama untuk mengendalikan konversi lahan pertanian. Penetapan lahan sawah irigasi abadi seluas 15 juta ha harus dilaksanakan secara bertahap, karena sekarang ini luas sawah baku di Indonesia hanya sekitar 7,78 juta ha (BPS 2003), dengan kualitas bervariasi dari sawah irigasi teknis sampai sawah tadah hujan. Abdurachman et al. (2005) mengemukakan kriteria biofisik penetapan lahan sawah abadi atau sawah utama dengan menggunakan tiga parameter, yaitu: status irigasi, intensitas pertanaman (IP), dan tingkat produktivitas. Berdasarkan kriteria tersebut, maka luas sawah yang layak dijadikan lahan sawah abadi hanya sekitar 30 juta ha di Jawa, Bali, dan Lombok (Abdurachman et al. 2004). Lahan-lahan sawah di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan pulau-pulau lainnya belum selesai dievaluasi seluruhnya. Namun demikian, jelas masih jauh untuk mendapatkan luasan 15 juta ha sawah abadi, karena pencetakan sawah baru memerlukan biaya tinggi dan waktu lama.

PENUTUP

Berdasarkan studi ini dapat didapatkan bahwa lahan merupakan faktor produksi yang utama dan tidak dapat digantikan fungsinya dalam usaha pertanian. Ketersediaan lahan untuk usahatani merupakan syarat keharusan untuk mewujudkan peran sektor pertanian secara berkelanjutan, terutama dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional, sehingga lahan pertanian semakin berkurang karena terjadi konversi ke non-pertanian dan pada akhirnya mengalami berbagai degradasi (kerusakan lahan).
Satu sisi, program konservasi merupakan respon dari adanya kerusakan lahan produktif pertanian tersbeut baik dilihat dari segi kesuburan maupun dari sisi sustainabilitasnya, sehingga akan mempengaruhi terhadap usaha pertaniannya dan pendapatan petani. Di sisi lain, kondisi petani di pedasaan dalm kondisi sulitnya akses kepada lahan dan modal menimbulkan pendapatan yang tidak memadai hingga menyebabkan kemiskinan.

Pemerintah hendaknya dengan segera melakukan percepatan pelaksanaan program reformasi agraria, dimana kebijakan Pemerintah yang selalu pro-poor ‘miskin aset’.
1.Memberikan kemudahan berbagai akses kepada petani melalui berbagai subsidi program baik akses modal, akses pasar maupun akses kepemilikan lahan.
2.Pemerintah hendaknya mengurangi pembiayaan dalam sertifikasi ‘birokrasi’ sehingga akan memudahkan dan memurahkan biaya akses petani ke berbagai kebutuhan dalam meningkatkan pendapatannya. Oleh karena itu, program RA harus segera dilaksanakan. Kebijakan pemberian kemudahan dan murahnya sertipikasi tanah bagi rakyat miskin maka akan memudahkan dalam kebijakan pembangunan wilayah berbasis pertanian.
3.Formalisasi property right akan timbul pengakuan politik atas penguasaan sosial hak atas tanah sehingga akan tumbuh kesadaran petani dalam pengembangan usahanya dalam meningkatkan pendapatannya.
4.Hendaknya pemerintah dalam menetapkan kebijakan land sutainability jelas dan tegas secara eksplisit sehingga pengendalian dalam memperbaiki kerusakan lahan seperti menghindari erosi, degradasi dan ‘climate change’ akan lebih mudah dan terencana dalam produksi (produktivitas) sehingga expectable income petani pun akan lebih dapat diperhitungkan.
5.Mengembangkan dan mengadopsi teknologi pertanian (pupuk, bibit, mesin) yang tepat dan ramah lingkungan dimana sustainabilitas kesuburan tanah akan lebih terjaga dan produksi pun dalam jangka panjang akan semakin lebih baik.
6.Penumbuhan kesadaran petani akan hak-hak petani melalui pembinaan petani dalam peningkatan usaha pertanian dan menjaga kesuburan lahan dilakukan secara yang sinergi dan berkelanjutan.
7.Meningkatkan peran serta dan partisipasi aktif di level petani yang harus terus didorong agar supaya termotivasi baik melalui penyuluhan, pendidikan dan pelatihan sebagai upaya menjaga sustainabilitas dari sisi lahan dan dari sisi bisnis (pendapatan ’gain’).

kanti rahmillah
tugas kebijakan pertanian (dr Haryanto)

3 komentar:

  1. MARI KITA BUAT PETANI TERSENYUM
    KETIKA PANEN TIBA

    Petani kita sudah terlanjur memiliki mainset bahwa untuk menghasilkan produk-produk pertanian berarti harus gunakan pupuk dan pestisida kimia, NPK yang antara lain terdiri dari Urea, TSP dan KCL serta pestisida kimia pengendali hama sudah merupakan kebutuhan rutin para petani kita, dan sudah dilakukan sejak 1967 (masa awal orde baru) , dengan produk hasil pertanian mencapai puncaknya pada tahun 1984 pada saat Indonesia mencapai swasembada beras dan kondisi ini stabil sampai dengan tahun 1990-an.
    Petani kita selanjutnya secara turun temurun beranggapan bahwa yang meningkatkan produksi pertanian mereka adalah Urea, TSP dan KCL, mereka lupa bahwa tanah kita juga butuh unsur hara mikro yang pada umumnya terdapat dalam pupuk kandang atau pupuk hijau yang ada disekitar kita, sementara yang ditambahkan pada setiap awal musim tanam adalah unsur hara makro NPK saja ditambah dengan pengendali hama kimia yang sangat merusak lingkungan dan terutama tanah pertanian mereka semakin tidak subur, semakin keras dan hasilnya dari tahun ketahun terus menurun.
    Tawaran solusi terbaik untuk para petani Indonesia agar mereka bisa tersenyum ketika panen, maka tidak ada jalan lain, perbaiki sistem pertanian mereka, ubah cara bertani mereka, mari kita kembali kealam.
    System of Rice Intensification (SRI) yang telah dicanangkan oleh pemerintah (SBY) beberapa tahuin yang lalu adalah cara bertani yang ramah lingkungan, kembali kealam, menghasilkan produk yang terbebas dari unsur-unsur kimia berbahaya, kuantitas dan kualitas, serta harga produk juga jauh lebih baik. Tetapi sampai kini masih juga belum mendapat respon positif dari para petani kita, karena pada umumnya petani kita beranggapan dan beralasan bahwa walaupun hasilnya sangat menjanjikan, tetapi sangat merepotkan petani dalam proses budidayanya.
    Selain itu petani kita sudah terbiasa dan terlanjur termanjakan oleh system olah lahan yang praktis dan serba instan dengan menggunakan pupuk dan pestisida kimia, sehingga umumnya sangat berat menerima metoda SRI ini. Mungkin tunggu 5 tahun lagi setelah melihat petani tetangganya berhasil menerapkan metode tersebut.

    Solusi yang lebih praktis dan sangat mungkin dapat diterima oleh masyarakat petani kita dapat kami tawarkan, yaitu: BERTANI DENGAN POLA GABUNGAN SISTEM SRI DIPADUKAN DENGAN PENGGUNAAN PUPUK ORGANIK AJAIB SO/AVRON /NASA + EFFECTIVE MICROORGANISME 16 PLUS ( EM16+) + Sistem Jajar Legowo.
    Cara gabungan ini hasilnya tetap PADI ORGANIK yang ramah lingkungan seperti yang dikehendaki pada pola SRI, tetapi cara pengolahan tanah sawahnya lebih praktis, dan hasilnya bisa meningkat 60% — 200% dibanding pola tanam sekarang.

    Semoga petani kita bisa tersenyum ketika datang musim panen.
    AYOOO PARA PETANI DAN SIAPA SAJA YANG PEDULI PETANI!!!! SIAPA YANG AKAN MEMULAI? KALAU TIDAK KITA SIAPA LAGI? KALAU BUKAN SEKARANG KAPAN LAGI?
    CATATAN: Bagi Anda yang bukan petani, tetapi berkeinginan memakmurkan/mensejahterakan petani sekaligus ikut mengurangi tingkat pengangguran dan urbanisasi masyarakat pedesaan, dapat melakukan uji coba secara mandiri system pertanian organik ini pada lahan kecil terbatas di lokasi komunitas petani sebagai contoh (demplot) bagi masyarakat petani dengan tujuan bukan untuk Anda menjadi petani, melainkan untuk meraih tujuan yang lebih besar lagi, yaitu menjadi agen sosial penyebaran informasi pengembangan system pertanian organik diseluruh wilayah Indonesia.
    Semoga Indonesia sehat yang dicanangkan pemerintah dapat segera tercapai.
    Terimakasih,
    Omyosa -- Jakarta Selatan
    02137878827; 081310104072

    BalasHapus

  2. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    BalasHapus