Sabtu, 22 Oktober 2011

Mampukah Bank Syariah Menjadi Solusi di Tengah Sistem Neolib?

Seperti yang sudah diramalkan para ekonom, krisis moneter yang terjadi di tahun 1997 sampai krisis dunia tahun 2008 menyeret indonesia menuju krisis ekonomi yang cukup signifikan. Terjadi inflasi besar-besaran, yang menyebabkan melemahnya nilai rupiah. Hal ini secara signifikan dirasakan rakyat dengan melambungnya harga-harga barang termasuk didalamnya kebutuhan pokok.
Bank-bank penopang perekonomian negeri ini berjatuhan, pemerintah harus merogoh kocek ratusan triliun (kasus BLBI saja pemerintah harus kehilangan 650 triliun). Ditengah bank-bank konvensional koleps, bank syariah tetap kuat dan bertahan menjalani krisis tersebut. Sejak saat itulah wacana ekonomi islam semakin digandrungi, terutama dikampus-kampus yang memiliki fakultas ekonomi, termasuk IPB yang sekarang memiliki program studi ekonomi syariah.
Alasan utama mengapa bank syariah yang terkenal dengan sistem non riba plus zakat relatif lebih kuat dibanding bank konvensional, karena Bank syariah tidak melaksanakan sistem bunga dalam seluruh aktivitasnya, sedangkan bank kovensional justru menopangi hidupnya dengan bunga. Dan kita tahu suku bunga berpengaruh positif terhadap inflasi, sehingga sangat wajar bank konvensional rentan terhadap krisis.
Namun pertanyaannya sekarang adalah, apakah bank syariah yang landasannya berdasarkan alquran dan assunah mampu bertahan di sistem yang ribawi ini? Jika kita melihat arah kebijakan ekonomi negara kita, yang cenderung mengadopsi sistem ekonomi neoliberalisme yang bertumpu pada utang dan investasi pada pertumbuhan perekonominya. Maka kita bisa melihat begitu kontrasnya dengan ekonomi islam yang melarang ada aktifitas riba (utang dan investasi ala neolib pasti mengandung suku bunga, artinya sistem ini berbasis ribawi).
Lantas bagaimana fenomena bank-bank syariah yang menjamur sekarang ini? Apakah mampu bank-bank tersebut murni berbasis non ribawi? Realitas yang ada mengatakan bahwa akan sulit bank syariah hidup berdampingan dengan bank konvensional, akhirnya bank-bank syariah jika ingin hidup haruslah menyesuaikan diri maka merekapun terlibat riba, walaupun istilah riba sudah dimodifikasi kedalam istilah yang samar, bahkan tidak sedikit alasan keberadaan bank syariah hanya merupakan trand permintaan pasar saja yang meningkat.
jika ekonomi Syariah dipandang seperti itu, maka ekonomi Syariah hidup berdampingan dengan ekonomi ribawi sebagai subordinasi Kapitalisme. Misalnya, manakala krisis keuangan global telah memukul dengan keras lembaga-lembaga keuangan ribawi di seluruh dunia, maka ekonomi Syariah dipandang sebagai pasar alternatif di dalam menggali laba.
Tentunya dalam hal ini, akan sulit pula ekonomi syariah menjadi solusi atas permasalahan ekonomi bangsa ini. Eksploitasi yang terjadi akibat utang luar negeri dan juga investasi pemodal asing adalah konsekuensi atas diterapkannya sistem neoliberlisme di negara kita. Secara otomatis jika kita mengetahui bahwa secara agregat, penyebab terpuruknya indonesia adalah eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam kita, maka solusi atas permasalahan ini agar tuntas adalah perubahan sistem. Bukan hanya sekedar resuffle kabinet yang hanya membuang uang negara tanpa ada konsep yang jelas menuju perubahan nasib bangsa. “menteri berubah, rakyat tetap makan teri” hade line sebuah media masa, cukup menggambarkan kesadaran rakyat akan sia-sianya resuffle kabinet.
Terakhir, dan ini adalah jawaban atas judul diatas, mampukah bank syariah menjadi solusi atas kemiskinan, kebodohan, kurang gizi, korupsi, kriminalitas, amoral, dan semua yang melanda negeri ini? Jawabannya iya, jika negeri ini terbebas dari kukungan sistem ekonomi neoliberalisme, tetapi jangan berharap negeri ini akan membaik apapun instrumen kebijakannya, apapun konsep bank nya jika masih menggunakan sistem yang sama. Jika memang bank syariah mampu menjadi solusi maka alternatif perubahan sistem menjadi sistem islam mutlak dilakukan.

kanti rahmillah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar