Kamis, 26 Maret 2015

Gerakan Hidup Sederhana Aparatur Negara, Esensi Atau Sensasi?


Dalam rangka efisiensi dan mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, pemerintahan Presiden Jokowi melalui berbagai kebijakannya mewajibkan seluruh pegawai negeri sipil untuk hidup sederhana dan tidak bermewah-mewahan.

Mulai dari larangan rapat di luar kota, larangan rapat di hotel, menggunakan pesawat kelas ekonomi jika ada dinas ke luar kota atau ke luar negeri, membatasi jumlah undangan tidak boleh lebih dari 400 undangan jika akan menggelar acara keluarga pejabat, juga konsumsi untuk rapat hanya boleh menghidangkan makanan tradisional seperti singkong, ubi dan semacamnya.

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi (PAN-RB), Yuddy Chrisnandi, telah menerbitkan surat edaran No 11 tahun 2014 tentang pembatasan kegiatan pertemuan, dan rapat di luar kota. Terhitung mulai 1 Desember 2014 pemerintah melarang aparatur negara baik di pusat maupun di daerah mengadakan rapat di luar kota, di luar kantor, seperti hotel, vila, dan resort.

Selama masih ada fasilitas ruang pertemuan di lingkungan instansi pemerintah, maka rapat diharuskan menggunakan fasilitas tersebut. Langkah ini ditempuh pemerintah dalam rangka penghematan terhadap anggaran belanja dan belanja pegawai yang angkanya hingga 70% lebih dari APBN keseluruhan.

“Pemerintah akan memeberikan reward and punishment atas pelaksanaan gerakan penghematan nasional,” ujar Yussy. Lanjutnya, stop pemborosan dan lakukan penghematan ini dimulai dari penghematan sarana dan prasarana kerja, penghematan belanja barang dan jasa, termasuk penghematan melalui pemanfaatan makanan dan buah-buahan produksi dalam negeri.

Gerakan penghematan ini pun meminta agar konsumsi rapat berisi makanan tradisional seperti singkong rebus, jagung rebus, combro, ubi rebus dan makanan tradisional lainnya, juga minuman yang disajikan hanya kopi, teh dan air mineral.Presiden Jokowi meminta agar anggaran perjalanan dinas dan rapat pejabat PNS dipotong hingga 16 triliun. Pemotongan tersebut dilakukan agar anggarannya bisa dialihkan ke program-program pro-rakyat yang akan dimulai tahun 2015.

Esensi Atau Sensasi?

Sungguh ironis, pasca menaikan harga BBM tanggal 18 November 2014 lalu, kini pemerintah per 1 Desember memberlakukan penghematan di lingkungan pemerintahan dalam rangka penghematan belanja negara. Jokowi mengajak aparatur negara hidup sederhana, agar kelebihan anggaran yang ada dapat dialokasikan untuk rakyat. Tentu saja kebijakan ini dinilai oleh banyak kalangan hanya pencitraan semata, karena jika memang pemerintah serius ingin mengalokasikan anggaran yang berlebih untuk rakyat, kenapa kebijakan menaikan harga BBM yang jelas menyengsarakan rakyat dilakukan?

Misalnya saja, kebijakan yang mengharuskan singkong, ubi dan makanan tradisional lainnya sebagai konsumsi rapat. Kebijakan ini dibuat selain untuk membudayakan hidup sederhana di kalangan pejabat, juga untuk mendorong peningkatan produksi dalam negeri dan menciptakan kedaulatan pangan.
Sungguh aneh, jika memang pemerintah menginginkan produksi pangan meningkat, kenapa pintu impor dibuka selebar-lebarnya, bahkan sampai menghilangkan tarif. Bagaimana petani bisa meningkatkan produskinya, ketika pangan impor deras masuk ke negeri kita.

Apalagi jika berbicara kedaulatan pangan. Berdaulat artinya mempunyai kuasa penuh, faktanya pangan kita sangat bergantung pada neraga lain. Menurut data BPS tahun 2012, Indonesia adalah importir singkong terbesar di dunia. Menginginkan Indonesia berdaulat dengan cara membatasi konsumi rapat aparatur hanya memakan singkong atau ubi saja, sungguh bukan solusi yang esensi. Dari sini bisa kita simpulkan bahwa kebijakan ini hanya “sensasi”.

Sebenarnya kebijakan hidup sederhana tidak keliru, yang jadi permasalahannya adalah ada kebijakan-kebijakan lain yang lebih esensi yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah. Sehingga pemerintah tidak terkesan hanya pencitraan saja. Bagaimana mungkin rakyat percaya bahwa program ini adalah kesungguhan niat baik Jokowi untuk rakyat, jika kebijakan lain yang lebih esensi seperti kenaikan harga BBM masih dilakukan.

Begitulah realitas pemimpin dengan mental terjajah, bukannya menghentikan kerjasama-kerjasama dengan perusahaan asing yang nyata-nyata merugikan kita, justru yang dilakukan malah memberlakukan kebijakan yang sama sekali jauh dari terselesaikannya permasalahan umat.

Tentunya pemimpin yang ideal adalah pemimpin yang mampu menyejahterakan rakyatnya secara riil, bukan hanya pencitraan atau kebijakan-kebijakan yang tidak pernah menyentuh akar permasalahannya. Dalam sistem demokrasi, sangat mustahil akan terlahir pemimpin yang benar-benar pro-rakyat, karena sejatinya penguasa dalam sistem yang kapitalistik sekuleristik ini hanya berpihak pada pemilik modal.

Sejatinya, seorang pemimpin haruslah sosok yang tidak membutuhkan penilaian manusia, yang diinginkan semata-mata hanyalah penilaian penciptanya. Amanahkah dia, ketika urusan seluruh rakyatnya dibebankan padanya. Sehingga politik pencitraan tidak dibutuhkan, yang ada adalah bekerja dengan seoptimal mungkin agar rakyatnya sejahtera. Dan kesejahteraan rakyat akan terwujud jika Islam diterapkan secara kaffah dalam bingkai Daulah Khilafah Islamiyah. Wallahu a’lam.

Dalam rangka efisiensi dan mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, pemerintahan Presiden Jokowi melalui berbagai kebijakannya mewajibkan seluruh pegawai negeri sipil untuk hidup sederhana dan tidak bermewah-mewahan.
Mulai dari larangan rapat di luar kota, larangan rapat di hotel, menggunakan pesawat kelas ekonomi jika ada dinas ke luar kota atau ke luar negeri, membatasi jumlah undangan tidak boleh lebih dari 400 undangan jika akan menggelar acara keluarga pejabat, juga konsumsi untuk rapat hanya boleh menghidangkan makanan tradisional seperti singkong, ubi dan semacamnya.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi (PAN-RB), Yuddy Chrisnandi, telah menerbitkan surat edaran No 11 tahun 2014 tentang pembatasan kegiatan pertemuan, dan rapat di luar kota. Terhitung mulai 1 Desember 2014 pemerintah melarang aparatur negara baik di pusat maupun di daerah mengadakan rapat di luar kota, di luar kantor, seperti hotel, vila, dan resort.
Selama masih ada fasilitas ruang pertemuan di lingkungan instansi pemerintah, maka rapat diharuskan menggunakan fasilitas tersebut. Langkah ini ditempuh pemerintah dalam rangka penghematan terhadap anggaran belanja dan belanja pegawai yang angkanya hingga 70% lebih dari APBN keseluruhan.
“Pemerintah akan memeberikan reward and punishment atas pelaksanaan gerakan penghematan nasional,” ujar Yussy. Lanjutnya, stop pemborosan dan lakukan penghematan ini dimulai dari penghematan sarana dan prasarana kerja, penghematan belanja barang dan jasa, termasuk penghematan melalui pemanfaatan makanan dan buah-buahan produksi dalam negeri.
penganan lokal/Ilustrasi
Gerakan penghematan ini pun meminta agar konsumsi rapat berisi makanan tradisional seperti singkong rebus, jagung rebus, combro, ubi rebus dan makanan tradisional lainnya, juga minuman yang disajikan hanya kopi, teh dan air mineral.Presiden Jokowi meminta agar anggaran perjalanan dinas dan rapat pejabat PNS dipotong hingga 16 triliun. Pemotongan tersebut dilakukan agar anggarannya bisa dialihkan ke program-program pro-rakyat yang akan dimulai tahun 2015.
Esensi Atau Sensasi?Sungguh ironis, pasca menaikan harga BBM tanggal 18 November 2014 lalu, kini pemerintah per 1 Desember memberlakukan penghematan di lingkungan pemerintahan dalam rangka penghematan belanja negara. Jokowi mengajak aparatur negara hidup sederhana, agar kelebihan anggaran yang ada dapat dialokasikan untuk rakyat. Tentu saja kebijakan ini dinilai oleh banyak kalangan hanya pencitraan semata, karena jika memang pemerintah serius ingin mengalokasikan anggaran yang berlebih untuk rakyat, kenapa kebijakan menaikan harga BBM yang jelas menyengsarakan rakyat dilakukan?
Misalnya saja, kebijakan yang mengharuskan singkong, ubi dan makanan tradisional lainnya sebagai konsumsi rapat. Kebijakan ini dibuat selain untuk membudayakan hidup sederhana di kalangan pejabat, juga untuk mendorong peningkatan produksi dalam negeri dan menciptakan kedaulatan pangan.
Sungguh aneh, jika memang pemerintah menginginkan produksi pangan meningkat, kenapa pintu impor dibuka selebar-lebarnya, bahkan sampai menghilangkan tarif. Bagaimana petani bisa meningkatkan produskinya, ketika pangan impor deras masuk ke negeri kita.
Apalagi jika berbicara kedaulatan pangan. Berdaulat artinya mempunyai kuasa penuh, faktanya pangan kita sangat bergantung pada neraga lain. Menurut data BPS tahun 2012, Indonesia adalah importir singkong terbesar di dunia. Menginginkan Indonesia berdaulat dengan cara membatasi konsumi rapat aparatur hanya memakan singkong atau ubi saja, sungguh bukan solusi yang esensi. Dari sini bisa kita simpulkan bahwa kebijakan ini hanya “sensasi”.
Sebenarnya kebijakan hidup sederhana tidak keliru, yang jadi permasalahannya adalah ada kebijakan-kebijakan lain yang lebih esensi yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah. Sehingga pemerintah tidak terkesan hanya pencitraan saja. Bagaimana mungkin rakyat percaya bahwa program ini adalah kesungguhan niat baik Jokowi untuk rakyat, jika kebijakan lain yang lebih esensi seperti kenaikan harga BBM masih dilakukan.
Begitulah realitas pemimpin dengan mental terjajah, bukannya menghentikan kerjasama-kerjasama dengan perusahaan asing yang nyata-nyata merugikan kita, justru yang dilakukan malah memberlakukan kebijakan yang sama sekali jauh dari terselesaikannya permasalahan umat.
Tentunya pemimpin yang ideal adalah pemimpin yang mampu menyejahterakan rakyatnya secara riil, bukan hanya pencitraan atau kebijakan-kebijakan yang tidak pernah menyentuh akar permasalahannya. Dalam sistem demokrasi, sangat mustahil akan terlahir pemimpin yang benar-benar pro-rakyat, karena sejatinya penguasa dalam sistem yang kapitalistik sekuleristik ini hanya berpihak pada pemilik modal.
Sejatinya, seorang pemimpin haruslah sosok yang tidak membutuhkan penilaian manusia, yang diinginkan semata-mata hanyalah penilaian penciptanya. Amanahkah dia, ketika urusan seluruh rakyatnya dibebankan padanya. Sehingga politik pencitraan tidak dibutuhkan, yang ada adalah bekerja dengan seoptimal mungkin agar rakyatnya sejahtera. Dan kesejahteraan rakyat akan terwujud jika Islam diterapkan secara kaffah dalam bingkai Daulah Khilafah Islamiyah. Wallahu a’lam.

Kanti Rahmillah, S.T.P, M.Si

www.kiblat.net (9 desember 2014)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar