Selasa, 13 Maret 2012

ternyata "menyenangkan"


Menjadi manusia tidak produktif tentunya tidak menyenangkan, tapi ternyata jauh tidak menyenangkannya jika menjadi manusia berkesempatan menjadi produktif namun menyia-nyiakan kesempatan yang telah ada. Ternyata menjadi seseorang yang terus saja bersembunyi dibalik nama besarnya tidak menyenangkan juga, apalagi bersembunyi dibalik retorika yang membius lawan bicaranya. Sungguh tidak sesuai fitrah.

Ternyata menjadi orang besar di tempat kecil lebih menyenangkan daripada menjadi orang kecil di tempat besar. Mhmm....hidup penuh dengan ternyata ya :) ?

Bermalas-malasan, menikmati hidup hampir 100 persen juga sangat menyenangkan,.. apalagi jika hal tersebut dikerjakan bersama-sama... but, life is choise guys.....

Tapi apakah semua yang dilakukan harus bermuara pada “menyenangkan” yang definisinya saja multitafsir...

makna kesenangan bagi penganut sekuler adalah terpenuhinya kebutuhan jasadiah tok...bahkan kesenangan itu pun akan lahir walau kita hanya baru mendapatkan sarana menuju kesenangan tersebut,misalnya uang...siapa sih yang tidak bahagia punya banyak uang...tapi apakah punya banyak uang secara otomatis membuat kita senang?atau bahagia?mhmm belum tentu...lihat saja pejabat kaya yang divonis penyakit macem-macem...tersiksa, ga boleh makan nasi, ga boleh makan aneka masakan kuliner indonesia, apalagi es krim..., atau setiap malam gelisah karena bermimpi hartanya dirampas orang.

Artinya uang hanyalah sarana menuju bahagia, dan anehnya banyak orang udah merasa bahagia walau baru mendapatkan uang.

Sebenarnya, saya hanya ingin menyampaikan bahwa ketika landasan perbuatan kita berdasarkan suka dan tidak sukanya kita pada hal tersebut, atau berdasarkan apakah hal tersebut menyenangkan apa tidak bagi kita, niscaya kita akan menjadi manusia “oleng” alias manusia yang tidak punya pendirian, manusia yang berjalan tanpa tujuan jelas. Maksudnya?

Suka dan tidak nya kita kan tergantung pada kondisi?kita akan suka makan eskrim selagi siang hari, tapi bagaiman jika kita lagi di puncak everest?masihkah kita menikmati eskrim kita? Nah menurut saya itu analogi yang pas untuk menggambarkan landasan perbuatan kita jangan terpaku pada apakah itu menyenangkan atau tidak/suka atau tidak. Jujur waktu kecil saya paling ga suka belajar, apalagi yang namanya baca buku, saya lebih senang main tanah, masak-masakan dll. Tapi ortu maksa saya untuk banyak membaca dan belajar, karena hal tersebut tentu positif dan katanya saya akan sadar nanti setelah dewasa. Kepercayaan kita pada ortu tentunya mengalahkan rasa malas kita. Walau kita tidak senang dengan aktivitas membaca dan belajar, tetap kita laksanaka, walau terpaksa, hasilnya anda bisa rasakan tentunya.

Sederhananya, jika aktivitas seorang muslim masih menstandarkan pada suka/tidaknya dia pada aktivitas tersebut, makna kebahagiaanya hanya diukur oleh materi, percaya sama saya, bahwa mereka akan tidak produktif dalam hidupnya. karena sesungguhnya manusia tidak mampu mengetahui seluruh yang baik/buruk untuknya.

Karena yang seharusnya ada pada seorang muslim adalah menstandarkan kebahagiaannya pada Ridho Allah, dia akan merasa bahagia jika Allah ridho atas apa yang telah dia lakukan. Dan beraktivitas bukan dilandasi oleh kesenangan materi, namun lebih dari itu yaitu tujuan dia hidup, beribadah kepada Allah.

kanti rahmillah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar