Putri, bocah 9 tahun yang ditemukan tewas dalam kardus. Setelah
di otopsi, ternyata bocah kelas 2 SD ini telah diperkosa sebelumnya oleh
pelaku. Sungguh mengenaskan, perilaku biadab predator seksual anak semakin liar
dan tak manusiawi. Ada lebih dari 6000 kasus pada tahun 2015 terkait dengan
kasus pelecehan seksual pada anak.
Maraknya kasus predator anak menjadi momok yang sangat
mengerikan. Predator seksual anak ini adalah musuh besar negara, karena korbannya
adalah anak-anak yang merupakan aset bangsa. Maka dari itu, hukumannya pun
harus setimpal. Suntik kebiri, dianggap mampu menjadi solusi. Harapannya pelaku
menjadi jera dan pelaku potensial berfikir ulang untuk melakukannya. Namun
benarkah demikian?
Kebiri kimiawi atau suntikan antiantrogen berfungsi
melemahkan hormon testosterone,
sehingga menyebabkan hasrat seksual orang yang mendaptkan suntikan/minum pil
tersebut berkurang bahkan hilang.
Namun seorang psikolog forensic
mengatakan hasrat seksual seorang pedofil tidak bisa ditekan dengan
menghentikan/menekan hormon, karena masih ada peluang kejahatan seksualnya
dipengaruhi oleh fantasi. Maka jika ingin menjerakan pelakunya dan mencegah
pelaku potensial melakukannya, hukuman suntik kebiri bukanlah solusi.
Tentu saja, yang sudah terbukti mampu menjerakan pelaku
adalah aturan yang bersumber dari syariat Islam. Menurut syariat Islam hukuman
yang pantas bagi pelaku predator seksual anak adalah, jika sampai tahap
pemerkosaan dihukum sama seperti pelaku zina, yaitu jilid (bagi yang belum
menikah) dan rajam (bagi yang sudah menikah). Adapun jika pelaku pedofil mensodomi,
maka hukuman yang menjerakan adalah hukuman mati. Dan jika pelaku hanya
mencabuli, pelaku diberikan sanksi ta’zir oleh negara.
Hanya saja menghilangkan kejahatan seksual pada anak, bukan
hanya dilihat dari seberapa berat hukuman bagi pelaku atau jenis hukumannya. Karena
pada faktanya, hukuman berganti semakin berat, namun kasus semakin banyak.
Ini adalah problem sistemik yang tidak hanya bisa
diselesaikan dengan pemberian hukuman saja bagi pelaku. Karena kesalahan bukan
hanya pada pelaku saja namun juga pada tatanan nilai dan tatanan aturan yang
berlaku di tengah masyarakat. Maka dari itu, jika ingin menyelaikan
problematika ini, harus menyentuh akar permasalahannya sehingga tercipta solusi
yang sistematis dan intergral.
Aspek penyebab maraknya
pedofil
Penyebab maraknya pedofil adalah tata nilai yang berlaku di dalam
masyarakat yaitu liberalisme, paham ini mengajarkan pada semua orang untuk bebas
berbuat sesuai dengan kehendaknya. Budaya pacaran, insect, LGBT (lesbi, gay,
biseks, transgender) dilindungi atas nama hak asasi. Akhirnya nilai ini lah
yang menjadi pemicu bebasnya si predator anak dalam melakukan kejahatan. Tata
nilai liberalistik ini pun diusung oleh negara, terlihat dari kebijakan yang
dihasilkan jauh dari agama.
Jika kita lihat, rata-rata pelaku adalah orang yang kecanduan pornografi,
kenapa? karena pornografi mudah diakses. Lihat saja situs-situs porno yang
masih mudah diakses di Indonesia, bahkan anak SD pun bebas membuka situs
tersebut. Bukan hanya dunia maya, dunia nyata pun begitu adanya. Kita bisa
menyaksikan langsung aurat-aurat wanita tanpa sensor. Gaya hidup yang bebas
membuat wanita bebas memakai apa saja sesuai dengan kehendaknya, tanpa
memikirkan sekitar. Begitupun dengn miras dan narkoba yg mudah di akses menjdi
pemicu meningktnya kriminalitas.
Kegalalan Nilai Liberalistik
Kenapa mereka (pelaku) tega? mencabuli, mensodomi,
memperkosa, bahkan membunuh anak-anak? apakah mereka tidak punya anak? atau
adik? atau sepupu atau siapapun yg mereka kasihi? inilah kegagalan tata nilai
liberalistik yang mampu menghilangkan rasa kasihan atas nama syahwat.
Nilai liberalistik bukan dengan sendirinya tertancap di
dalam benak individu-individu masyarakat, namun nilai ini terus ditanamkan dalam
pendidikan formal maupun pendidikan keluarga. Pendidikan formal yang hanya
berorientasi pada kepintaran intelektual semata, menjadikan seseorang tidak
peduli terhadap sekitar dan tidak menjadikan agama sebagai landasan hidup.
Begitupun pendidikan keluarga, banyak keluarga yang orang
tuanya tidak punya pola asuh yang benar, padahal pendidikan pertama adalah dari
keluarga. Orang tua berpendidikan, mereka asik berkarir dan meningglkan
anak-anak nya pada asisten rumah tangga atau babyday care. Orang tua yang hidup dalam keluarga pas pasan, harus
berjuang siang malam demi keberlangsungan hidupnya.
Negara pun ikut mendukung dengan kebijakan
kontraproduktifnya, yaitu secara eksplisit menyuruh wanita keluar rumah untuk
turut membangun ekonomi bangsa. Terhimpitnya ekonomi dan terbukanya lowongan
kerja yang luas bagi para wanita, membuat para ibu berbondong-bondong ikut
mencari nafkah untuk keluarga.
Peran Negara
Seharusnya negara bisa melihat permasalahan ini dengan
sistematis. Negara tidak bisa hanya sekedar memberikan hukuman pada pelaku, tanpa
ada upaya untuk mengubah tata nilai yang berlaku di masyarakat. Negara tidak boleh
membiarkan nilai kebebasan ada ditengah-tengah masyarakat, karena inilah faktor
utama yang mendorong terjadinya kejahatan seksual pada anak. Negara harusnya
membangun nilai yang sesuai dengan
syariat Islam.
Selain tata nilai yang harus diubah, negara harusnya menutup
seluruh pintu pornografi. Karena selain haram dalam kaca mata syariat,
pornografi menghadirkan kemudorotan yang
besar. Begitupun Negara tidak boleh berkompromi dengan bisnis miras dan
narkoba. Walaupun banyak menguntungkan negara, namun negara harus melindungi
warganya dari miras dan narkoba yang telah nyata merusak masyarakat.
Namun semua ini mustahil dilakukan oleh negara yang
bersistemkan demokrasi, yang aturannya dibuat oleh manusia. Demokrasi tidak
bisa menetapkan batasan aurat bagi wanita, sehingga pakaian yang dikenakan
wanita bebas tanpa aturan. Begitupun demokrasi tidak bisa menyediakan rumah
yang layak. Tidak sedikit warga yang hidup dengan rumah seadanya akibat kemiskinan.
Padahal rumah sempit tanpa kamar privasi, memicu terjadinya insec (hubungan
seksual sesama saudara).
Kemiskinan yang akut di negara kita, adalah buah kedzoliman
penguasa saat ini yang masih menerapkan sistem demokrasi. Sehingga hanya Khillafah
lah yang mampu melaksanakan peran tersebut. Wallahualam bi sowab
Kanti Rahmillah, S.T.P , M.Si
Aktivis Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia
www.detikislam.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar