Rabu, 16 Maret 2016

SUNTIK KEBIRI BAGI PREDATOR SEKSUAL ANAK, SOLUSIKAH?




Putri, bocah 9 tahun yang ditemukan tewas dalam kardus. Setelah di otopsi, ternyata bocah kelas 2 SD ini telah diperkosa sebelumnya oleh pelaku. Sungguh mengenaskan, perilaku biadab predator seksual anak semakin liar dan tak manusiawi. Ada lebih dari 6000 kasus pada tahun 2015 terkait dengan kasus pelecehan seksual pada anak.
Maraknya kasus predator anak menjadi momok yang sangat mengerikan. Predator seksual anak ini adalah musuh besar negara, karena korbannya adalah anak-anak yang merupakan aset bangsa. Maka dari itu, hukumannya pun harus setimpal. Suntik kebiri, dianggap mampu menjadi solusi. Harapannya pelaku menjadi jera dan pelaku potensial berfikir ulang untuk melakukannya. Namun benarkah demikian?
Kebiri kimiawi atau suntikan antiantrogen berfungsi melemahkan hormon testosterone, sehingga menyebabkan hasrat seksual orang yang mendaptkan suntikan/minum pil tersebut berkurang bahkan hilang.
Namun seorang psikolog forensic mengatakan hasrat seksual seorang pedofil tidak bisa ditekan dengan menghentikan/menekan hormon, karena masih ada peluang kejahatan seksualnya dipengaruhi oleh fantasi. Maka jika ingin menjerakan pelakunya dan mencegah pelaku potensial melakukannya, hukuman suntik kebiri bukanlah solusi.
Tentu saja, yang sudah terbukti mampu menjerakan pelaku adalah aturan yang bersumber dari syariat Islam. Menurut syariat Islam hukuman yang pantas bagi pelaku predator seksual anak adalah, jika sampai tahap pemerkosaan dihukum sama seperti pelaku zina, yaitu jilid (bagi yang belum menikah) dan rajam (bagi yang sudah menikah). Adapun jika pelaku pedofil mensodomi, maka hukuman yang menjerakan adalah hukuman mati. Dan jika pelaku hanya mencabuli, pelaku diberikan sanksi ta’zir oleh negara.
Hanya saja menghilangkan kejahatan seksual pada anak, bukan hanya dilihat dari seberapa berat hukuman bagi pelaku atau jenis hukumannya. Karena pada faktanya, hukuman berganti semakin berat, namun kasus semakin banyak.
Ini adalah problem sistemik yang tidak hanya bisa diselesaikan dengan pemberian hukuman saja bagi pelaku. Karena kesalahan bukan hanya pada pelaku saja namun juga pada tatanan nilai dan tatanan aturan yang berlaku di tengah masyarakat. Maka dari itu, jika ingin menyelaikan problematika ini, harus menyentuh akar permasalahannya sehingga tercipta solusi yang sistematis dan intergral.
Aspek penyebab maraknya pedofil
Penyebab maraknya pedofil adalah tata nilai yang berlaku di dalam masyarakat yaitu liberalisme, paham ini mengajarkan pada semua orang untuk bebas berbuat sesuai dengan kehendaknya. Budaya pacaran, insect, LGBT (lesbi, gay, biseks, transgender) dilindungi atas nama hak asasi. Akhirnya nilai ini lah yang menjadi pemicu bebasnya si predator anak dalam melakukan kejahatan. Tata nilai liberalistik ini pun diusung oleh negara, terlihat dari kebijakan yang dihasilkan jauh dari agama.
Jika kita lihat, rata-rata  pelaku adalah orang yang kecanduan pornografi, kenapa? karena pornografi mudah diakses. Lihat saja situs-situs porno yang masih mudah diakses di Indonesia, bahkan anak SD pun bebas membuka situs tersebut. Bukan hanya dunia maya, dunia nyata pun begitu adanya. Kita bisa menyaksikan langsung aurat-aurat wanita tanpa sensor. Gaya hidup yang bebas membuat wanita bebas memakai apa saja sesuai dengan kehendaknya, tanpa memikirkan sekitar. Begitupun dengn miras dan narkoba yg mudah di akses menjdi pemicu meningktnya kriminalitas.
Kegalalan Nilai Liberalistik
Kenapa mereka (pelaku) tega? mencabuli, mensodomi, memperkosa, bahkan membunuh anak-anak? apakah mereka tidak punya anak? atau adik? atau sepupu atau siapapun yg mereka kasihi? inilah kegagalan tata nilai liberalistik yang mampu menghilangkan rasa kasihan atas nama syahwat.  
Nilai liberalistik bukan dengan sendirinya tertancap di dalam benak individu-individu masyarakat, namun nilai ini terus ditanamkan dalam pendidikan formal maupun pendidikan keluarga. Pendidikan formal yang hanya berorientasi pada kepintaran intelektual semata, menjadikan seseorang tidak peduli terhadap sekitar dan tidak menjadikan agama sebagai landasan hidup.
Begitupun pendidikan keluarga, banyak keluarga yang orang tuanya tidak punya pola asuh yang benar, padahal pendidikan pertama adalah dari keluarga. Orang tua berpendidikan, mereka asik berkarir dan meningglkan anak-anak nya pada asisten rumah tangga atau babyday care. Orang tua yang hidup dalam keluarga pas pasan, harus berjuang siang malam demi keberlangsungan hidupnya.
Negara pun ikut mendukung dengan kebijakan kontraproduktifnya, yaitu secara eksplisit menyuruh wanita keluar rumah untuk turut membangun ekonomi bangsa. Terhimpitnya ekonomi dan terbukanya lowongan kerja yang luas bagi para wanita, membuat para ibu berbondong-bondong ikut mencari nafkah untuk keluarga.
Peran Negara
Seharusnya negara bisa melihat permasalahan ini dengan sistematis. Negara tidak bisa hanya sekedar memberikan hukuman pada pelaku, tanpa ada upaya untuk mengubah tata nilai yang berlaku di masyarakat. Negara tidak boleh membiarkan nilai kebebasan ada ditengah-tengah masyarakat, karena inilah faktor utama yang mendorong terjadinya kejahatan seksual pada anak. Negara harusnya membangun nilai  yang sesuai dengan syariat Islam.
Selain tata nilai yang harus diubah, negara harusnya menutup seluruh pintu pornografi. Karena selain haram dalam kaca mata syariat, pornografi menghadirkan  kemudorotan yang besar. Begitupun Negara tidak boleh berkompromi dengan bisnis miras dan narkoba. Walaupun banyak menguntungkan negara, namun negara harus melindungi warganya dari miras dan narkoba yang telah nyata merusak masyarakat.
Namun semua ini mustahil dilakukan oleh negara yang bersistemkan demokrasi, yang aturannya dibuat oleh manusia. Demokrasi tidak bisa menetapkan batasan aurat bagi wanita, sehingga pakaian yang dikenakan wanita bebas tanpa aturan. Begitupun demokrasi tidak bisa menyediakan rumah yang layak. Tidak sedikit warga yang hidup dengan rumah seadanya akibat kemiskinan. Padahal rumah sempit tanpa kamar privasi, memicu terjadinya insec (hubungan seksual sesama saudara).
Kemiskinan yang akut di negara kita, adalah buah kedzoliman penguasa saat ini yang masih menerapkan sistem demokrasi. Sehingga hanya Khillafah lah yang mampu melaksanakan peran tersebut. Wallahualam bi sowab

Kanti Rahmillah, S.T.P , M.Si

Aktivis Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia

www.detikislam.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar